Akhirnya kelas Manajemen selesai. Rasanya otakku akan pecah dengan
berbagai hafalan yang aku targetkan. Wajar saja, aku menargetkan banyak
pelajaran yang harus aku kejar. Apalagi jika mengingat kebiasaanku tidur
di kelas. Sebenarnya bukannya aku tidak ingin memperhatikan dosen. Aku
hanya tidak bisa melihat apa yang diajarkan dosen. Mataku minus 3 dan
kacamataku hilang.
Kadang, banyak orang yang bingung mengapa aku
begitu ‘sok’ pintar dengan tidak membeli kacamata. Mereka hanya tidak
tahu betapa buruknya aku dalam merawat barangku, salah satunya kacamata.
Terakhir, kacamataku hanya bertahan seminggu sebelum hilang. Alhasil,
aku memutuskan untuk tidak membeli kacamata lagi karena toh tidak lama akan hilang atau rusak.
Kamis
siang ini cuaca memang cukup panas. Apalagi di tengah kerumunan kantin
yang sesak. Belum lagi ditambah asap rokok yang bertiup kesana kemari.
Akan tetapi, bukan itu yang membuat aku begitu gerah. Aku gerah melihat
begitu romantisnya dua mahasiswa di depanku.
Sebenarnya, mereka
tidak melakukan apapun. Mereka hanya mengobrol sambil saling bercanda
dan tersenyum. Akan tetapi, aku hanya kesal tanpa alasan. Aku memang
tidak suka melihat orang lain begitu akrab. Di dunia ini semua hanya kepalsuan, batinku.
Aku kembali menyeruput sisa jus alpukatku, lalu beranjak meninggalkan
kantin fakultas. Angin bertiup lembut membuat alur sendiri di Danau
Mahoni.
***
Pertemuan 1
Tanganku
bersandar pada besi kokoh yang menyangga jembatan Teknik Sastra yang
membelah Danau Mahoni. Angin sore bertiup sepoi membelai pepohonan yang
berjejer rapi di pinggiran danau. Hari yang panjang dan melelahkan, gumamku.
Hari ini jadwal kuliahku penuh selama tiga sesi. Aku merasa seakan
otakku diperas habis untuk sekedar berusaha memahami apa yang dijelaskan
oleh para dosen.
Di pinggir danau terlihat pelajar-pelajar SMP
dan SMA sedang bermesra-mesraan dengan kekasihnya. Terdapat pula
beberapa anak-anak yang bermain bersama orang tuanya. Aku sangat suka
berada di sini. Setiap hari Rabu, dimana jadwal kuliahku penuh, aku
selalu menyempatkan diri untuk sejenak melihat sunset di
jembatan ini yang tepat berada di belakang fakultasku. Sepinya jembatan
ini ketika menjelang malam, menjadi alasan bagiku untuk bisa mentolelir
pemandangan harmonis dan romantis di bawah sana. Paling banyak hanya
lima orang saja yang ada di jembatan luas ini.
Aku menarik
nafas panjang. Jemariku memutar-mutar pulpen secara hati-hati. Aku tidak
ingin pulpen ini jatuh ke danau karena pulpen ini baru saja kubeli.
Apalagi ini merupakan bagian dari uang terakhirku minggu ini. Oleh
karena itu, aku bertekad akan menjaganya.
“Hei,” sebuah suara halus perempuan seakan menyapa. Aku berusaha acuh. Tidak ada yang kenal aku, paling orang lain, batinku.
“Hei,”
suara itu terdengar lagi, tetapi kali ini diikuti dengan sebuah tepukan
sebuah pulpen di bahuku. Aku kaget. Putaran pulpen di tanganku pun
terhenti dan pulpen itu pun jatuh ke danau. Aku hanya terpana melihat
pulpen itu terjun bebas lalu masuk ke danau.
“Ups.. Maaf, maaf, maaf. Aku nggak bermaksud ngagetin
kamu.” ucapnya dari belakang yang kemudian menyadarkanku. Aku pun
membalikkan badan dan terkejut. Seorang perempuan tinggi dan berjilbab
sedang menunduk.
“Eng…Anu.. I..ya ngga…apa..apa…” jawabku
sekenanya sembari mengayun-ngayunkan tangan. Aku bingung ingin berbuat
apa hingga berkeringat dingin. Sejak SMA, aku sangat jarang berinteraksi
dengan orang lain jika tidak ada keperluan. Jika pun interaksi itu
terjadi, aku pasti seperti ini, kebingungan hingga berkeringat dingin.
Tidak
lama kemudian, dia kembali mengangkat kepalanya. Aku terkesima. Dia
mengenakan jilbab kuning serasi dengan baju panjang yang juga berwarnah
kuning dan rok jeans yang panjang dan longgar. Kacamata mungil
di wajahnya memberi kesan lugu. Ekspresi bersalahnya, yang begitu
terlihat, membuat semua orang yang berhadapan dengannya pasti memaafkan
dia.
“Ini,” ucapnya tiba-tiba sembari menyodorkan pulpen yang tadi dia gunakan untuk menepukku. “Aku ganti pulpen kamu yang jatuh.”
“Eh.. eng.. a..anu ng..gak usah kok. Aku ada pulpen lagi,” ucapku berbohong. Iya ada lagi di toko, batinku.
“Ehm..” gumamnya sambil menempelkan tangan kiri ke mulutnya seakan sedang berpikir. “Jangan bohong, mukamu stress gitu
pas pulpennya jatuh. Udah ini ambil aja. Aku ada lagi kok.” ucapnya
sembari tersenyum dan menggoyangkan tangannya seakan memaksaku
mengambilnya. Aku hanya bisa nyengir ketika dia tahu aku berbohong. Akhirnya, aku pun mengambil pulpen tersebut. Dia pun tersenyum lebar.
“Kamu sering di sini ya?” tanyanya sembari bersandar ke penyangga jembatan.
“Iya, kenapa emangnya?” tanyaku kembali sambil memutar-mutar pulpen yang baru dia berikan.
“Hehehe..” tiba-tiba dia tertawa kecil. Dia berusaha menutup mulutnya dengan tangan untuk menyembunyikannya.
“Eng.. anu.. Kenapa ketawa?” tanyaku bingung.
“Kamu ituloh. Setiap kalimat pasti ada eng.. anu.. haha. Lucu.” ucapnya sembari terus tertawa kecil. Aku hanya bisa kembali nyengir.
Tiba-tiba
dia menutup mulutnya dengan kedua tangannya lalu memutar badan ke
arahku dan menunduk lagi. “Ups, maaf, maaf. Aku jadi ngetawain kamu. Aku kelepasan.”
“Eh.. eng.. anu.. udah nggak apa apa kok. Eng.. aku emang gini. Maaf juga,” ucapku lagi sembari mengayunkan tanganku kembali.
“Kamu nggak usah minta maaf. Aku yang salah kok.” ucapnya sembari kembali mengangkat kepalanya dan tersenyum.
“Oh iya, kamu mau jadi reviewer puisi aku nggak?” tanyanya tiba-tiba. Aku kaget. Kami belum saling kenal dan tiba-tiba dia berharap aku melakukan sesuatu untuknya.
“Maaf. Tapi.. eng.. anu.. maksudnya?” tanyaku memperjelas.
“Iya,
jadi pemberi saran puisiku. Bisa dibilang sajak sih. Sejenis itu deh
pokoknya. Gimana?” tanyanya lagi. Aku semakin bingung akan menjawab apa.
Akan tetapi, sebelum aku sempat menjawab, dia menepuk kedua tangannya.
“Oh iya, maaf aku lupa jelasin dulu siapa aku dan segala macemnya hehe..
Kenalin, aku Azkia, Azkia Nur Rahma. Aku jurusan Sastra Jepang angkatan
2012. Aku suka banget dengan puisi. Aku biasa ke sini sehabis kuliah
buat nulis puisi. Di sini pemandangannya indah banget. Apalagi kalo lagi
sunset. Nah, karena aku hobi membuat puisi, aku pengen banget ada yang kasih tanggapan dari puisiku. Tapi, aku malu banget kalau ini dipublish. Apalagi latarnya di sini. Aku takut dan malu kalo dikira galauers. Makanya aku rahasiain
kalo aku suka ke sini. Nah, kebetulan ada kamu nih. Mau ya ya ya?”
tanyanya antusias. Dia tidak sadar bahwa dia sudah berbicara beberapa
menit hingga aku hanya bisa terbengong-bengong.
“Ups, maaf, maaf.
Aku ngomong terlalu panjang.” sekali lagi dia menunduk dan aku pun
bingung dan menjawab sekenanya seperti sebelumnya.
“Eng.. anu.. kenapa aku?” tanyaku bingung.
“Ehm..
kenapa ya..” gumamnya sambil menempelkan tangan kiri ke mulutnya
seperti sebelumnya, yang dikemudian hari kusadari bahwa itu adalah ciri
khasnya. “Mungkin karena kamu aja yang selalu ada kalo aku di sini.”
jawabnya. Aku tersentak menundukkan muka. Jawaban itu seakan begitu
romantis sehingga aku kemudian agak mual.
“Kamu kenapa?” tanyanya sembari menundukkan kepala berusaha melihat wajahku.
“Eng.. anu… Aku mules dan banyak tugas. Jadi, harus buru-buru pulang. Bye.” ujarku seraya beranjak ingin pergi.
Belum sempat aku melewatinya, tiba-tiba dia membentangkan tangannya. Aku pun berhenti karena tidak bisa lewat.
“Tolong dong. Please.” pintanya tiba-tiba sembari menepuk dan menghimpun kedua tangannya di depan mulut sembari memejamkan mata. Sungguh manis, hati kecilku bicara, hingga aku pun bingung.
Huft. Aku pun menghembuskan nafas. Dia membuka salah satu matanya dan menyaksikan aku mengangguk. “Eng.. Sekali ini aja” ucapku.
“Yeayy!”
teriaknya tiba-tiba sembari mengangkat kedua tangannya seakan baru saja
memenangkan hadiah jutaan miliar. Semua orang pun melihat ke arah kami.
Aku pun tertunduk malu.
***
Pertemuan 2
Seperti
biasa, aku hadir di jembatan Teknik Sastra di penghujung rutinitas
soreku, sekedar mengeluh tentang hari ini dan mencari ketenangan.
Bedanya, hari ini seorang perempuan bernama Azkia berada tidak jauh
dariku. Dia berputar-putar ke sana kemari seperti anak kecil.
Manusia di hadapan senja,
Hilang semua palsu sepanjang hari,
Hilang semua palsu sepanjang hari,
Mereka sama saling terkagum.
Aku
terbengong-bengong saja ketika membaca sajaknya. Aku masih sedikit
bingung. Ternyata, masih ada juga orang yang suka menulis hal-hal kecil
seperti ini. Aku pun bertanya pada Azkia tetang makna dari sajaknya ini.
“Ehm..
Jadi, Dit. Mau sesibuk apa pun manusia. Mau setinggi apa pun pangkat
manusia. Mau sepintar apa pun manusia. Mereka akan sama aja ketika
melihat matahari terbenam. Mereka akan kagum. Karena, secara langsung
maupun tidak langsung, mereka mengakui Tuhan di atas segalanya.”
terangnya
Aku hanya bias mengangguk. Semenit kemudian, aku telah
mengajukan diri untuk menjadi pendengar sajaknya setiap minggu. Sesuatu
yang sejam kemudian aku sesali. Akan tetapi, seminggu kemudian aku
syukuri.
***
Pertemuan 30
Tiga puluh sajak sudah aku aku koleksi. Artinya, sudah sepuluh minggu atau tiga bulan aku rutin bertemu dengannya. Ya, setiap rabu sore sembari melihat sunset, batinku.
Awalnya, aku hanya terkesima pada sajak-sajaknya. Akan tetapi, entah
kenapa saat ini aku mulai tertarik dengan sang penyairnya.
Aku
baru sadar, betapa lucunya ekspresi seorang Azkia ketika sedang
berpikir. Dia akan meletakkan tangannya di pipi sembari melihat ke atas
seakan ada kunci jawaban di sana. Aku juga baru sadar, betapa menariknya
sifat Azkia yang sangat mudah meminta maaf, bahkan pada hal-hal kecil,
dengan menunduk. Aku juga baru sadar, betapa anehnya Azkia yang baru
menanyakan tentang identitasku pada pertemuan kelima. Dia sangat mudah percaya dan lugu, gumamku
setiap mengingat kejadian itu. Aku juga baru sadar, betapa alimnya
Azkia yang selalu menjaga dirinya agar tidak bersentuhan denganku.
Bahkan dia tidak akan mau jika di jembatan kami hanya berdua. Dia pasti
akan mengajakku pindah ke kantin fakultasku atau fakultasnya.
Apaan sih, Dit! gumamku
seraya menggeleng-gelengkan kepala. Aku tidak boleh memikirkan dia. Aku
harus ingat bahwa semua manusia itu penuh kepalsuan. Akan tetapi, dia seperti tidak menyimpan kepalsuan, batin kecilku membela dan entah kenapa seluruh anggota tubuhku membenarkan.
Perasaan apa ini? tanyaku.
***
Pertemuan 108
“Adit, kamu coba nulis juga deh. Daripada bengong gitu
nungguin aku mikir.” ujarnya tanpa melihat ke arahku. Tampaknya dia
sedang sibuk berpikir untuk sajaknya hari ini. “Nanti kamu jadi stress loh kalo kebanyakan ngelamun.” ucapnya lagi sembari tersenyum simpul.
Tiba-tiba, dia berhenti berpikir. Lalu, mengeluarkan selembar kertas dan pulpen dan menyodorkannya kepadaku.
“Aku
harus nulis apa, Az?” tanyaku bingung. Sekarang aku sudah bisa
berbicara lancar. Azkia selalu mengajarkanku untuk berbicara tanpa
imbuhan ‘eng’ dan ‘anu’ lagi. Aku sendiri terkadang lucu ketika
mengingat betapa canggungnya aku, dulu.
Azkia memang mengajarkan
banyak hal kepadaku. Salah satu yang paling merubahku adalah tentang
agama. Aku memang memeluk Islam sejak lahir. Tetapi orang tuaku tidak
terlalu peduli dengan agama. Alhasil, aku sangat jarang shalat. Bahkan,
aku buta huruf Arab.
Azkia kaget ketika mengetahui semua itu. Akan
tetapi, dengan senyum khasnya, Azkia mengajarkanku untuk bisa lebih
mengenal agamaku. Mulai dari mengajak aku ke kajian-kajian di Masjid
Universitas hingga memaksaku mengikuti mentoring keagamaan. Sejak
itulah, aku perlahan-lahan sadar tentang agamaku.
Ya, Azkia sangat berjasa bagi hidupku, gumamku.
“Apa?” tanya Azkia yang tiba-tiba hingga membuyarkan lamunanku.
“Oh nggak apa-apa. Hehe.. Aku mulai nulis ya,” jawabku mengalihkan pembicaraan. Ups aku keceplosan, batinku.
30 menit kemudian
“Bagus tuh tulisan kamu.” komentarnya sembari mengangkat kedua jempolnya dan tersenyum ketika membaca tulisanku. “Tapi harus diperbaikin lagi. Terutama yang ini, dan yang ini, terus yang ini, oh iya yang ini juga. Eh ini juga. Kamu itu yang ini terlalu kayak gini” seperti biasa, ocehan panjang Azkia segera keluar. Aku hanya tersenyum kecil.
“Ups, maaf, maaf aku ngomong terlalu panjang.” pintanya sembari menunduk dan kini aku sudah bisa tertawa ketika melihatnya..
“Eh jawab dong pertanyaannya!” pintaku sembari mengangkat alis mata.
“Loh yang mana?” tanyanya ketika mengangkat kepala. Gaya khasnya menempelkan telunjuk di pipi pun keluar.
“Itu lho yang di tulisanku.” ucapku sembari menunjuk kertasku.
“Oh ini pertanyaan buat aku beneran?” tanyanya kaget.
“Yups.” jawabku sembari mengangkat bahu.
“Hmm. Mau nggak ya?” ucapnya sembari memicingkan mata ke arahku. Dia berusaha menggodaku dengan berpura-pura tidak mau, gumamku. Akan tetapi, aku sebenarnya cukup khawatir jika kemudian dia tidak mau dan justru mendebatku.
“Dan
jawabnnya….. mau” jawabnya pelan. Pipinya memerah. Entah benar atau
tidak, menurutku ini ekspresi muka Azkia yang paling lucu.
Aku dan Azkia kemudian menatap Danau Mahoni, mendapati cahaya sunset
terekstraksi ke seluruh penjuru. Angin senja mulai bertiup, memainkan
rambutku dan jilbab panjang Azkia. Pepohonan berdansa di sekeliling
kami.
“Subhanallah…” ucap kami bersamaan. Azkia menengok
ke arahku. Aku yakin dia kaget ketika aku mengucapkan tasbih karena aku
sendiri kaget mendapati diriku mengucapkannya secara spontan. Aku sangat
sulit mengingat bahasa Arab. Azkia kembali menatap danau sembari
menutup mulutnya dengan tangan dan tertawa kecil, seperti tawanya dulu
ketika kami pertama bertemu.
***
“Happy milad,
Adit. Kapan nikah?” begitulah mayoritas ucapan yang tertuju ke arahku.
Aku hanya akan tersenyum simpul ketika ditanya seperti itu. Umurku kini
menginjak 26 tahun. Bagi masyarakat umum, umur sekian belum waktunya
menikah. Akan tetapi, bagi kalangan sahabatku, umur 26 sudah terlambat
untuk menikah. Bahkan, teman-teman mentoring keagamaanku sudah menikah
semua. Padahal umur kami sepantaran.
Aku sendiri sebenarnya tidak
memiliki alasan untuk terlambat menikah. Umurku sudah cukup.
Penghasilanku di atas rata-rata. Bukan ingin menyombongkan diri, tetapi
semua orang sudah mengenal Aditya Harin sebagai Direktur Marketing dari sebuah perusahaan penerbitan terbesar di Indonesia. Selain itu, aku juga terkenal sebagai penulis novel yang best seller.
Aku juga sudah menyelesaikan pendidikan S2-ku di Australia dengan
mengambil bidang seni. Satu-satunya penyebab aku tidak segera menikah
hanyalah kesibukan saja.
Menariknya, semua pencapaianku saat ini
tentu tidak terlepas dari satu sosok perempuan bernama Azkia Nur Rahma.
Baru satu bulan yang lalu, dia menyelesaikan S3-nya dari University of
Tokyo dan kembali ke Indonesia.
Momentum perubahan itu terjadi
ketika aku pertama menulis. Sejak saat itu, Azkia selalu mengajariku
mengenai cara menulis, terutama untuk fiksi. Di akhir masa kuliah, aku
mengajak Azkia untuk mempublikasikan karya kami, baik aku maupun Azkia.
Namun,
seperti semula, Azkia tidak ingin membagi ceritanya kepada orang lain.
Awalnya, aku tidak ingin mempublikasikannya juga. Aku tidak percaya diri
jika tidak ada Azkia. Bagaimana pun, dia yang membimbingku menulis.
Akan tetapi, Azkia kemudian mengutip sajak keduanya.
“Batu mungkin lebih berat, tapi kertas tak terbang lebih baik darinya.
Kamu mungkin merasa lebih berat untuk diangkat. Tapi nyatanya, berat
itu yang membuatnya bisa terbang lebih tinggi ketika dilempar.”
Alhasil,
aku mengirimkan karyaku ke penerbit dan ternyata karyaku diterima. Aku
kemudian memperdalam dunia literatur dan sastra sembari mengambil S2 di
Australia. Sedangkan Azkia memutuskan untuk memperdalam mengenai budaya
Jepang dengan melanjutkan kuliah di sana.
Tahun ini, harusnya Azkia sudah tidak punya alasan untuk tidak menikah, batinku berbicara.
***
Epilog
Rabu, 18 Maret 2020
Aku melangkah menyusuri tempatku menuntut ilmu dahulu, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sudah banyak yang berubah rupanya,
gumamku. Aku terus melangkah menuju ujung fakultas ini dan mendapati
jembatan Teknik Sastra masih seperti yang dulu. Agin sejuk melambai
pepohonan dan rambutku. Perbedaan terlihat di danau yang lebih jernih
dan tidak adanya sepasang kekasih yang menikmati pojokan danau. Ya, lebih tertib, gumamku lagi.
“Maaf,
maaf, maaf, aku tidak bisa menepati janjiku,” kemarin sebuah telepon
masuk tiba-tiba dan penelponnya berbicara seperti itu. Tentu, aku tidak
butuh perkenalan untuk mengenalnya. Aku hanya tersenyum, berusaha
mengikhlaskan.
“Jembatan mungkin mengubungkan segalanya. Tetapi, bagaimanapun fana dan nyata berbeda. Rencana
tetaplah rencana, takdir tidak bisa dilawan bukan?” balasku dengan
mengutip sebuah sajaknya, sembari tertawa renyah. Entah kenapa suara di
seberang telepon seakan menghilang beberapa saat.
“Terima kasih,
Adit.” suara pelan terdengar tiba-tiba. Suara itu seakan tertahan oleh
isak tangis dan tarikan nafas sang pengucapnya. Tangis bahagia, ucap batinku lagi, berusaha mengikhlaskan.
Matahari
akan segera tenggelam, aku beranjak pergi sembari meninggalkan dua
kertas, membiarkan keduanya terbawa angin menuju Danau Mahoni, tempat
semua sajak bermula.
Kertas pertama
Pertemuan 108 – Tulisan Pertama
Pernahkah kau tahu arti sahabat surga,
Dia penolong benalu.
Dia penolong benalu.
Dia Anggrek.
Andai sebuah Anggrek punya kata,
Ada satu Anggrek yang ikhlas berbagi,
Memberi nutrisi pada benalu
Di sini, sejuta sajak telah lahir
Bersama angin, dedaunan dan mungkin bangunan.
Ini akan jadi sejarah, bagi penyair dan penikmat.
Anggrek dan benalu
Biarlah tahun berputar empat
Maukah kembali di hari yang sama?
Aditya Harin
Rabu, 18 Maret 2016
Kertas Kedua
Undangan Pernikahan
Yusuf & Azkia
Rabu, 18 Maret 2020
Untuk Saudara
Aditya Harin
Disalin dari Dakwatuna.com
Gambar:http://gizanherbal.files.wordpress.com/2011/07/the_words_of_my_heart_by_islamicwallpers.jpg
0 comments:
Post a Comment