• Kabar Terkini

    Jul 8, 2013

    Perbedaan Awal Ramadhan Kita

    Ingin mengulang sedikit bahasan tahun lalu tentang perbedaan awal Ramadhan kita; semoga ilmu menjadikan mantapnya 'amal & lapangnya dada:)

    Yang lebih penting dari mulai puasa Selasa atau Rabu ialah; mengilmui mengapa ada beda demikian; lalu beramal sesuai ilmu teryakini. Perbedaan mencakup banyak segi mendasar. Secara sederhana, pertama; apa ta’rif HILAL yang termaktub dalam QS2:189 & berbagai hadits?  Apakah yang dimaksud HILAL itu penampakan fisik bulan baru teramati; atau bulan memasuki fase barunya dengan ijtima’ qablal ghurub?

    Muhammadiyah; memaknai HILAL sebagai “bulan memasuki fase baru” dengan ijtima’ qablal ghurub (konjungsi sebelum mentari terbenam).  Kita sulit menolak definisi ini; sebab, ketika bulan memasuki fase edar baru, jelas ia sudah tak mungkin lagi dianggap “bulan lama”. Jadi bagi Muhammadiyah; tak peduli berapapun derajatnya; jika bulan telah memasuki fase edar baru; kita memasuki bulan Hijriah baru.

    Bagi yang mendefinisikan Hilal sebagai ‘penampakan fisik bulan baru’ maka ada standar IMKANUR RU’YAT: ketermungkinan bulan terlihat. Dalam IMKANUR RU’YAT, akan ada perbedaan lagi; berapa derajat sehingga bulan memungkinkan dilihat? Dengannya kesahihan ru’yat diuji. Beda derajat ini juga membawa soal lain; betapa sebentarnya (hanya beberapa detik) Hilal muncul setelah ghurub, lalu terbenam juga.

    Bagi para berilmu nan mengambil definisi ini; istilah Muhammadiyah dianggap tak tepat. Harusnya WUJUDUL QAMAR, bukan wujudul hilal. Masuk perbedaan ke-2; mutlakkah hadits “Shumuu liru’yatihi wa afthiruu liru’yatih. Berpuasalah sebab MELIHAT Hilal, beridul fitri .lah kalian karena melihatnya”? Bagi sebagian 'Ulama; hadits ini perintah tegas tuk MELIHAT Hilal secara fisik dalam penentuan. Tetapi tidak menurut 'Ulama lain; sebab kata “Raa-a” bisa diartikan melihat dengan mata, bisa juga dengan ilmu; yakni Hisab Falaki. Ini sebagaimana pemahaman pada hadits “Man raa-a minkum munkaran, falyughayyirhu..”; melihat kemunkaran bisa dengan mata atau ilmu.

    Yang berpandangan harus melihat dengan mata; berhujjah bahwa secara ‘amaliah, Nabi & para Khulafaur Rasyidin memerintahkan Ru’yat.Bukankah sunnah mereka lebih layak diikuti? Lalu yang memahami “melihat” bisa dengan ilmu mengajukan hadits 'kedaruratan' masa itu. “Nahnu qaumun ummiyun.. Kami adalah kaum yang ummi; kami tidak bisa membaca, tidak bisa menulis, dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Yakni ada kalanya dua puluh sembilan hari & terkadang tiga puluh hari.” {Muttafaq ‘alaih}
    Maka menurut mereka; perintah melihat Hilal secara fisik itu WAJIB saat ummat belum faham Hisab. Kewajiban gugur jika sudah mampu.

    Maka; ujar para berilmu {al. Rasyid Ridha & Mustafa Az Zarqa}, perintah rukyat fisik ialah perintah ber-’illat (bersebab tertentu). Dalam kaidah fiqh; hukum hadir & meniada berdasar ‘illat. Dalam soal ru’yat Hilal secara fisik, ‘illatnya adalah ke-ummi-an ummat.

    Masuk perbedaan lain di kalangan yang sama-sama mengharuskan Ru’yat fisik; bolehkah pakai alat bantu, atau harus mata telanjang? Agak mengganggu; tapi inipun dibahas. Bahwa Nabi TIDAK memakai teropong & lainnya. Tapi bahwa atmosfer zaman kita banyak polusinya.  Perbedaan berikut; apa kesaksian seorang yang mau disumpah dapat langsung diterima? Bukankah Nabi dulu menerima tanpa penguji lain? Tapi hari ini pemutlak Ru’yat bisa menolak kesaksian Ru’yat seorang yang disumpah; uniknya berdalil Hisab; “Kurang dari 2 Derajat!”. Maka para berilmu lain -dengan agak tersenyum- mengakui bahwa Hisab Falaki bagi Ru’yat sebenarnya pasangan nan tak dapat diabaikan.

    Agar tepat me-Ru’yat kita harus tahu koordinat terkirakan lokasi Hilal akan muncul, berapa derajat sudutnya, berapa jarak mentari, sehingga bias senja tak mengganggu, berapa lama Hilal kan tertampak di ufuk, jam berapa hingga berapa. Semua data itu dari Hisab!

    Indonesia punya masalah lain; kalau dulu RasuluLlah memakai dataran gurun sebagai tempat pengamatan Hilal; kita pakai tepi pantai. Saat mentari terbenam, uap air di atas lautan masih membiaskan cahaya matahari tuk beberapa waktu. Dengan itu, bahkan Hilal yang telah wujud & seharusnya tampak di ufuk sekitar 0-3 menit, kemungkinan akan dikaburkan oleh pembiasan itu. Beda dengan di gurun.

    Masuk ke perbedaan lain di kalangan yang sama-sama ber-Ru’yat: apakah 1 ru’yat berlaku global seluruh dunia Islam; atau lokal saja? Di zaman Nabi; kemutlakan Ru’yat tuk seluruh ummat memungkinkan. Jumlah ummat belum sebanyak sekarang & mathla’nya sedaerah waktu. Tapi bahkan di masa Mu’awiyah, Ibn ‘Abbas di Hijjaz melakukan Ru’yat mandiri yang hasilnya beda dengan ru'yat ibukota di Damaskus. Ketika pembawa pesan dari ibukota datang & bertanya “Tak cukupkah bagi kalian ru’yat Mu’awiyah?” Ibnu ‘Abbas menegaskan ijtihadnya.

    Masuk perbedaan berikut; pemahaman atas “Amrul Imam/hukmul Hakim yarfa’ul khilaf”. Apakah Pemerintah RI laik termasuk Imam & Hakim? Apa ia memenuhi syarat hingga wajib ditaati itsbatnya? Dan terharuskah; padahal Amirul Mukminin Mu’awiyah saja tidak diikuti semua? Bagi ru’yat Indonesia; apakah ia berlaku nasional sedang kita punya 3 daerah waktu? Hilal Sabang amat lebih tua dibanding Jayapura. Jadi kalau ada yang tak ikut Pemerintah RI; mari maklum; Mu'awiyah RA saja tak diikuti Ibn 'Abbas di Hijjaz; apalagi @SBYudhoyono.

    Yang berpandangan wajib ikut Pemerintah mengajukan hadits; "Yaumu fithrikum yaumu tufthirun, wa yaumu adh-hakum yaumu tudhahhun. "Hari 'Idul Fithri kalian adalah hari kalian bersama tak lagi berpuasa; hari 'Idul Adh-ha kalian adalah hari kalian menyembelih.". Hadits ini menjadi patokan; bahwa kebersamaan & persatuan adalah hal utama yang selayaknya kita upayakan. Dan ini fahaman terbaik. Jika pemerintah suatu negara punya kuasa tuk memaksa semua pihak di antara warga-negaranya {Ormas atau apapun}; satukan agar indah.  Tapi jika kenyataannya lain; hadits tadi dapat difahami dengan pemaknaan kedua; mari ikuti apa yang ada di masyarakat sekitar kita. Jika persatuan secara luas & mutlak tak tercapai; upayakan keselarasan & harmoni pada tingkat yang mampu kita jangkau & tegakkan.

    Dengan fahaman ini; memaksakan diri berbeda dari lingkungan sekitar {apapun metode & hasil yang kita yakini} kurang cantik jadinya.  "Keluar dari ikhtilaf itu yang tercintai"; ujar Imam Asy Syafi'i. Jika tak mampu mengamalkannya secara besar; secara kecil cukup.

    Menurut guru kita Ustadz dalam artikel beliau; Imam Al Bahuti penulis kitab Ar Raudhul Murbi nan menjadi rujukan. Madzhab Hanbali {di mana qunut Shubuh tak diamalkan} menyatakan agar jika bermakmum pada Imam Shalat yang berqunut Shubuh hendaknya kita turut mengaminkan. Ini penanda betapa kerukunan yang dekat menjadi sebuah prioritas juga dalam sikap beribadah. Walhasil; dalam keadaan seperti penduduk Hijjaz dulu ikut Ibn 'Abbas & tidak ikut Mu'awiyah {Padahal Mua'awiyah Amirul Mukminin} rukun sedaerah yang memungkinkan tuk kebersamaan itu indah. Kalau yang memungkinkan hanya sekampung; semoga itupun jadi kebaikan.

    Memeriksa mention; pertanyaan terbanyak yang muncul: "Kalau Salim puasa kapan?" Sebenarnya tak penting; sebab Salim bukan patokan. InsyaaLlah dijawab tuk jadi gambaran bagaimana bersikap. Kami besar dalam Tradisi NU, belajar di Pesantren NU, cinta 'amaliyah NU. Kami beberapa kali ikut Ru'yatul Hilal di bukit Syaikh Bela-Belu, Parangtritis, sebab meyakini ia bagian dari ibadah sesuai sunnah. Bagi kami; mengikuti Ru'yatul Hilal & taat ketetapan Ulil Amri adalah berpahala. Kami selalu meniatkan seperti itu, alhamduliLlah.

    Tapi kami tinggal di kampung ; yang Masjidnya diwakafkan pada persyarikatan Muhammadiyah & pengasasnya berwasiat agar 'amaliyah Masjid ini mengikuti kepada siapa ia diamanahkan. Maka sebagaimana Ibn Mas'ud protes ketika 'Utsman ibn 'Affan tidak mengqashar shalat pada waktu berhaji tapi tetap bermakmum pada beliau & berkata, "perselisihan itu buruk"; maka kami insyaaLlah sebentar lagi atas tugas dari Takmir Masjid insyaaLlah terbang ke Jakarta tuk menjemput Syaikh Muzhaffar An Nawati dari Gaza, Palestina yang insyaaLlah akan menjadi Imam Tarawih di Masjid mulai malam ini & berpuasa Selasa besok. Demikianlah; terkadang keutamaan tindakan tak terletak dalam hal yang paling kita yakini berdasar ilmu kita. Kami belajar hal itu. Ini yang dapat kami kongsikan sebagai faqir 'ilmu yang mencoba belajar; sangat dimungkinkan banyak keliru & ketaksetujuan. Ahlan:)

    Sumber : Ustadz Salim A. Fillah
    @salimafilah

    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 comments:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Perbedaan Awal Ramadhan Kita Rating: 5 Reviewed By: Creavida
    Scroll to Top