Unnimac.com - Postmodernisme dihidupkan oleh semangat pluralisme dan
dihadapkan dengan fundamentalisme, kata Akbar S. Ahmed dan Ernest
Gelner. Kini semua agama diprovokasi merespon semangat ini. Sekularisme
telah “gagal”, kata Peter L. Berger dan gantinya adalah pluralisme.
Buku al-Qur’an Kitab Toleransi ini
adalah contoh riil respon itu, “Membangun toleransi di tengah gelombang
intoleransi yang makin marak”. Kandungannya sarat dengan wacana
pluralisme dan memusuhi fundamentalisme. Masih satu skenario dengan
buku-buku yang ditulis Charles Kimbal, When Religion Become Evil, atau Cheryl Bernard, Civil Democratic Islam, Partner, Resource and Strategy dan sebagainya.
Buku ini berangkat dari asumsi bahwa sejauh ini Islam dianggap
intoleran. Pembacaan yang serius terhadap al-Qur’an dalam masalah ini
tidak ada. Kitab-kitab klasik pun tidak dihadirkan secara menyeluruh
untuk tujuan itu (h. xi).
Asumsi-asumsi itu memberi banyak harapan kepada pembaca. Pertama, harapan akan ada kajian serius terhadap bangunan konsep al-Qur’an. Kedua, adanya bangunan konsep yang menggabungkan konsep toleransi, intoleransi dan bahkan absolutisme. Ketiga, kajian
komprehensif terhadap kitab-kitab Tafsir sehingga muncul tafsir baru.
Tapi apakah harapan-harapan itu dipenuhi buku ini, kita lihat.
Pertama penulis menjadikan al-Qur’an kitab
terbuka (h.65). Maksudnya al-Qur’an harus bisa dipahami tanpa bahasa
Arab, bahasa yang tidak bisa disentuh oleh manusia biasa, sakral (h.72).
Tapi bagaimana caranya tidak dijelaskan. Pembaca hanya disuguhi paparan
tentang kaidah-kaidah para ulama dalam memahami al-Qur’an. Contoh
kasusnya pun melulu fikih.
al-Qur’an kemudian didekati secara hermeneutis. al-Qur’an diposisikan sebagai produk budaya (muntaj tsaqafi) atau juga podusen budaya (muntij tsaqafi), meminjam teori Nasr Hamid Abu Zayd. Tapi yang menonjol adalah yang pertama, budaya Arab mendominasi pembentukan teks.
Bagaimana al-Qur’an dengan konsep-konsepnya menjadi produsen budaya (muntaj tsaqafi) tidak dielaborasi. Harapan pembaca untuk mendapatkan bangunan konsep baru pun pupus.
Pada bagian selanjutnya pembaca berharap
menemukan kajian Tafsir klasik yang komprehensif. Tapi penulis justru
berpendapat perlunya memperkaya khazanah Tafsir dengan metode Tafsir
produk orang-orang berbeda ajaran dan kepercayaan (hal.106).
Metode itu adalah hermeneutika. Teori-teori
hermeneutika Paul Ricour, Heidegger, Gadamer, Dilthey, Habermas dan
sebagainya juga disebut secara singkat.
Bagaimana teori hermeneutika diaplikasikan
untuk teks wahyu, juga tidak jelas. Josep van Ess yang non-Muslim dan
profesor itu saja sadar bahwa hermeneutik “was not made for Islamic studies as such”.
Yang kemudian terjadi bukan pengayaan metodologis, tapi, justru
“membongkar tradisi Tafsir”. (hal.124). Harapan ketiga pun pupus sudah.
Toleransi dimaknai sebagai menerima dan
menghargai pihak yang salah dan keberagaman. Salah dalam masalah apa
tidak pasti. Tapi tiba-tiba pembaca disodori hadis ijtihad furu’iyyah, yang salah dapat pahala satu yang benar dapat dua.
Dalil fikih inipun lalu digunakan untuk
memaknai inklusifisme teologis, yaitu menerima kebenaran kelompok atau
agama lain. (hal. 199). Suatu loncatan akrobatik dari fikih ke teologi yang mengejutkan.
Dari toleransi dan inklusifisme lalu
beralih ke wacana pluralisme. Penulis nampaknya hanya memahami
pluralisme sosiologis. Sebab ia menyalahkan MUI yang memahami pluralisme
teologis ala John Hick, W.C. Smith, atau Schuon. Padahal,
pluralisme sosiologis itu pada akhirnya juga akan menggiring pada
pluralisme teologi.
Dalam Oxford Dictionary of Philosophy disebutkan It (pluralism) frequently consorts with relativism and general suspicion of a notion of the truth. Muaranya
sama, tidak berpihak pada kebenaran. Jika anda meyakini kebenaran maka
anda harus toleran kepada kesalahan, begitulah doktrin Nietzsche, sang
relativis. Dus, pluralisme menyimpan relativisme.
Kesimpulan bahwa al-Qur’an adalah Kitab Toleransi lebih merupakan infotainment bagi
manusia postmo. Realitas teks dan sejarah bahwa Islam berwajah keras,
tegas dan terkadang berbahasa peperangan seperti ditutup-tutupi. Surat
Nabi mengajak raja-raja dan Kaisar masuk Islam dalam paradigma ini bisa
dihukumi intoleran. Buku ini banyak fakta tapi tidak koheren. Walhasil, buku ini belum bisa menjawab pertanyaan Jack-Nelson-Pallmeyer Is Religion Killing Us?
Oleh : Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
0 comments:
Post a Comment