Di lapis-lapis keberkahan, mari sejenak
belajar dari seorang ayah, budak penggembala kambing yang bertubuh
kurus, berkulit hitam, berhidung pesek, dan berkaki kecil. Tetapi
manusia menggelar hamparan mereka baginya, membuka pintu mereka
selebar-lebarnya, dan berdesak-desak demi menyimak kata-kata hikmahnya.
Dia, Luqman ibn ‘Anqa’ ibn Sadun, yang digelari Al Hakim.
Seseorang pernah bertanya kepadanya, “Apa yang telah membuatmu mencapai kedudukan serupa ini?”
“Aku tahan pandanganku”, jawab Luqman,
“Aku jaga lisanku, aku perhatikan makananku, aku pelihara kemaluanku,
aku berkata jujur, aku menunaikan janji, aku hormati tamu, aku pedulikan
tetanggaku, dan aku tinggalkan segala yang tak bermanfaat bagiku.”
“Dia tak diberikan anugrah berupa nasab, kehormatan, harta, atau jabatan”, ujar Abud Darda’ Radhiyallahu ‘Anhu
ketika menceritakan Luqman Al Hakim. “Akan tetapi dia adalah seorang
yang tangguh, pendiam, pemikir, dan berpandangan mendalam. Dia tidak
pernah terlihat oleh orang lain dalam keadaan tidur siang, meludah,
berdahak, kencing, berak, menganggur, maupun tertawa seenaknya. Dia tak
pernah mengulang kata-katanya, kecuali ucapan hikmah yang diminta
penyebutannya kembali oleh orang lain.”
“Dan Kami telah mengaruniakan hikmah kepada Luqman, bahwasanya hendaklah engkau bersyukur kepada Allah. Dan barangsiapa bersyukur, maka hanyasanya dia bersyukur bagi dirinya. Dan barangsiapa mengkufuri nikmat, sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuja.” (QS Luqman [31]: 12)
“Hikmah”, tulis Imam Ibn Katsir dalam
Tafsirnya, “Yakni pengetahuan, pemahaman, dan daya untuk mengambil
pelajaran.” Inilah yang menjadikan Luqman berlimpah kebijaksanaan dalam
kata maupun laku. Tetapi setinggi-tinggi hikmah itu adalah kemampuan
Luqman untuk bersyukur dan kepandaiannya untuk mengungkapkan
terimakasih.
“Kemampuan untuk mensyukuri suatu
nikmat”, ujar ‘Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz, “Adalah nikmat yang jauh lebih
besar daripada nikmat yang disyukuri itu.” Dan pada Luqman, Allah
mengaruniakannya hingga dia memahami hakikat kesyukuran secara mendalam.
Bersyukur kepada Allah berarti mengambil maslahat, manfaat, dan
tambahan nikmat yang berlipat-lipat bagi diri kita sendiri. Bersyukur
kepada Allah seperti menuangkan air pada bejana yang penuh, lalu dari
wadah itu tumpah ruah bagi kita minuman yang lebih lembut dari susu,
lebih manis dari madu, lebih sejuk dari salju.
Adapun bagi yang mengkufuri Allah,
adalah Dia Maha Kaya, tidak berhajat sama sekali pada para hambaNya,
tidak memerlukan sama sekali ungkapan syukur mereka, dan tidak
membutuhkan sama sekali balasan dari mereka. Lagi pula Dia Maha Terpuji,
yang pujian padaNya dari makhluq tidaklah menambah pada
kemahasempurnaanNya, yang kedurhakaan dari segenap ciptaanNya tidaklah
mengurangi keagunganNya.
Maka Luqman adalah ahli syukur yang
sempurna syukurnya kepada Allah. Dia mengakui segala nikmat Allah yang
dianugrahkan padanya dan memujiNya atas karunia-karunia itu. Dia juga
mempergunakan segala nikmat itu di jalan yang diridhai Allah. Dan dia
pula berbagi atas nikmat itu kepada sesama sehingga menjadikannya
kemanfaatan yang luas.
“Seseorang yang tidak pandai mensyukuri manusia”, demikian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda dalam hadits riwayat Imam At Tirmidzi, “Sungguh dia belum
bersyukur kepada Allah.” Maka asas di dalam mendidik dan mewariskan
nilai kebaikan kepada anak-anak sebakda bersyukur kepada Allah sebagai
pemberi karunia adalah bersyukur kepada sang karunia, yakni diri para
bocah yang manis itu.
Di lapis-lapis keberkahan, rasa syukur
yang diungkapkan kepada anak-anak kita adalah bagian dari bersusun-susun
rasa surga dalam serumah keluarga.
“Nak, sungguh kami benar-benar beruntung
ketika Allah mengaruniakan engkau sebagai buah hati, penyejuk mata, dan
pewaris bagi kami. Nak, betapa kami sangat berbahagia, sebab engkaulah
karunia Allah yang akan menyempurnakan pengabdian kami sebagai hambaNya
dengan mendidikmu. Nak, bukan buatan kami amat bersyukur, sebab
doa-doamulah yang nanti akan menyelamatkan kami dan memuliakan di dalam
surga.”
Inilah Rasulullah yang mencontohkan pada
kita ungkapan syukur itu bukan hanya dalam kata-kata, melainkan juga
perbuatan mesra. “Ya Rasulallah, apakah kau mencium anak-anak kecil itu
dan bercanda bersama mereka?”, tanya Al Aqra’ ibn Habis, pemuka Bani
Tamim ketika menghadap beliau yang sedang direriung oleh cucu-cucu
Baginda.
“Mereka adalah wewangian surga, yang Allah karuniakan pada kita di dunia”, jawab beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sembari tersenyum.
“Adalah aku”, sahut Al Aqra’ ibn Habis, “Memiliki sepuluh anak. Dan tak satupun di antara mereka pernah kucium.”
“Apa dayaku jika Allah telah mencabut rahmatNya dari hatimu? Barangsiapa yang tidak menyayangi, dia tidak akan disayangi.”
“Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya dan dia sedang memberi pengajaran kepadanya, ‘Duhai anakku tersayang, janganlah engkau mempersekutukan Allah. Sesungguhnya kesyirikan adalah kezhaliman yang besar.” (QS Luqman [31]: 13)
Dengarlah Luqman memanggil putranya, Tsaran ibn Luqman dengan sapaan penuh cinta, “Ya Bunayya.. Anakku
tersayang.” Alangkah besar hal yang akan dia ajarkan. Betapa agung
nilai yang akan dia wariskan. Yakni tauhid. Bahwa Allah adalah Rabb,
Dzat yang telah mencipta, mengaruniakan rizqi, memelihara, memiliki,
dan mengatur segala urusannya. Maka mempersekutukan Dia; dalam ibadah,
pengabdian, dan ketaatan adalah sebuah kezhaliman yang besar.
Kenalkanlah Allah pada anak-anak kita
sejak seawal-awalnya, dengan cara yang paling pantas bagi keagungan dan
kemuliaanNya. Kenalkanlah Allah pada anak-anak kita dari semula-mulanya,
dengan kalimat yang paling layak bagi kesucian dan keluhuranNya.
Kenalkanlah Allah pada anak-anak kita mulai sepangkal-pangkalnya, dengan
ungkapan dan permisalan yang paling sesuai bagi kesempurnaan dan
kebesaranNya.
Sebab janji kehambaan seorang makhluq
telah diikrarkan sejak di alam ruh, maka membisikkan tauhid ke dalam
kandungan, melirihkannya pada telinga sang bayi dalam buaian, atau
menyenandungkannya sebagai pengajaran adalah baik adanya.
“Dan Kami wasiatkan kepada manusia kebaikan terhadap kedua orangtuanya; ibunya yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun, ‘Bersyukurlah kepadaKu dan kepada kedua orangtuamu. KepadaKulah tempat kembalimu.”(QS Luqman [31]: 14)
Maha Mulia-lah Dzat yang dalam
pembicaraan tentang keesaanNya dari pengajaran seorang ayah kepada
putra, Dia meminta perhatian sejenak tentang hak kedua orangtua. Maha
Agung-lah Dzat yang dalam penuturan tentang ketauhidanNya dari wasiat
seorang bapak kepada anak, Dia mengingatkan kita tentang kebaikan yang
wajib kita tanggung terhadap sosok yang telah mengandung, melahirkan,
mendidik, dan menumbuhkan kita.
Sesungguhnya lisan perbuatan jauh lebih
fasih daripada lisan perucapan. Maka apa yang dilihat oleh anak-anak
kita akan terrekam lebih kokoh di dalam benak dan jiwa mereka dibanding
semua kata-kata yang coba kita ajarkan padanya. Maka siapapun yang
merindukan anak berbakti bakda ketaatannya kepada Allah, bagaimana dia
memperlakukan kedua orangtua adalah cermin bagaimana kelak
putra-putrinya berkhidmat kala usia telah menua.
Allah menyatukan antara kesyukuran
padaNya dengan kesyukuran pada orangtua, sebab melalui ayah dan ibulah
Dia mencipta kita, memelihara, mengaruniakan rizqi, serta mengatur
urusan. Ayah dan ibu adalah sarana terjadinya kita, terjaganya,
tercukupi keperluannya, serta tertata keadaannya. Maka Allah
menganugerahkan kehormatan kepada mereka dengan doa yang indah, “Rabbighfirli wa li walidayya warhamhuma kama rabbayani shaghira.”
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tiada pengetahuan bagimu terhadapnya, maka janganlah kau taati keduanya. Dan persahabatilah mereka berdua di dunia dengan baik. Dan ikutilah jalan orang yang kembali bertaubat kepadaKu, kemudian hanya kepadaKulah tempat pulang kalian, maka akan Kuberitakan pada kalian apa-apa yang telah kalian kerjakan.” (QS Luqman [31]: 15)
Allah memberikan batas yang jelas
tentang bakti kepada orangtua, yakni lagi-lagi tauhid itu sendiri. Tidak
ada ketaatan kepada makhluq, siapapun dia, semulia apapun dia, dalam
rangka bermaksiat kepada Al Khaliq. Tapi berbedanya keyakinan orangtua
yang masih musyrik dengan kita yang mengesakan Allah sama sekali tak
menggugurkan perlakuan yang patut dan sikap bakti yang terpuji terhadap
mereka.
Jalan untuk menjadi orangtua yang mampu mendidik anaknya juga hendaknya mengikuti jalan orang-orang yang bertaubat nashuha.
Sebab tak ada yang suci dari dosa selain Sang Nabi, maka sebaik-baik
insan adalah yang menyesali salah, memohon ampun atasnya, memohon maaf
kepada sesama, serta berbenah memperbaiki diri. Pun demikian terhadap
anak-anak kita.
Banyakkan istighfar atas ucapan dan
perlakuan kepada putra-putri kita. Jangan malu mengakui kekhilafan dan
meminta maaf kepada mereka. Teruslah memperbaiki diri dengan ilmu dan
pemahaman utuh bagaimana seharusnya menjadi seorang Ayah dan Ibu yang
amanah. Sebab kelak, ketika seluruh ‘amal kita kembali tertampak, Allah
pasti menanyakan segenap nikmat yang telah kita kecap, dan meminta
pertanggungjawaban atas segala perbuatan. Pada hari itu, seorang anak
yang tak dipenuhi hak-haknya oleh orangtua untuk mendapatkan ibunda yang
baik, lingkungan yang baik, nama yang baik, serta pengajaran adab yang
baik; berwenang untuk menggugat mereka.
“Duhai anakku tersayang, sungguh seandainya ada sesuatu yang seberat timbangan biji sawi tersembunyi di dalam sebuah batu, atau di lapis-lapis langit, atau di petala bumi; niscaya Allah akan mendatangkan balasannya. Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Tahu.” (QS Luqman [31]: 16)
Luqman melanjutkan pengajarannya dengan
menjelaskan hakikat ‘amal baik dan buruk serta dasar dorongan beramal
yang sejati. Ini dilakukannya sebelum memberi perintah tentang ‘amal
shalih di kalimat berikutnya. Sungguh, menanamkan pada anak-anak kita
bahwa Allah senantiasa ada, bersama, melihat, mendengar, mengawasi, dan
mencatat perbuatan dan keadaan mereka, jauh lebih penting dibanding
perintah ‘amal itu sendiri.
Sungguh memahamkan pada anak bahwa
Allah-lah yang senantiasa hadir di setiap ‘amal maupun hal, bahwa Dia
Maha Mengetahui segala yang tampak maupun tersembunyi, yang mereka
lakukan kala ramai bersama maupun sunyi sendiri, adalah dasar terpenting
sebelum memerintahkan kebajikan dan melarang dari kemunkaran. Dan bahwa
Allah akan membalas semua itu dengan balasan yang setimpal dan
sempurna.
Penting bagi kita untuk mengatakan pada
mereka, “Nak, Ayah dan Ibu tak selalu bias bersamamu dan mengawasimu,
tapi Allah senantiasa dekat dan mencatat perbuatanmu. Dia Maha Melihat
dan Maha Mendengar. Jangan takut kalau kamu berlaku benar dan berbuat
baik, sebab Dia akan selalu menolongmu. Jangan khawatir ketika kamu
berlaku benar dan berbuat baik, sebab sekecil apapun ‘amal shalihmu,
meski Ayah dan Ibu serta Gurumu tak tahu, tak dapat memuji maupun
memberikan hadiah padamu; tetapi Allah selalu hadir dan balasan ganjaran
dari Allah jauh lebih baik dari segala hal yang dapat diberikan oleh
Ayah dan Ibu.”
“Demikian pula Nak, jika kamu berbuat
keburukan atau berbohong, sekecil apapun itu, meski Ayah, Ibu, maupun
Ustadzmu tak menyadarinya, sungguh Allah pasti tahu. Dialah Dzat yang
tiada satu halpun lepas dari pengetahuan dan kuasaNya, hatta daun yang
jatuh dan langkah seekor semut di malam gulita. Dan Allah juga pasti
memberi balasan yang adil pada setiap kedurhakaan padaNya, juga atas
keburukan yang kamu lakukan pada Ayah, Ibu, dan sesama manusia lainnya.”
Inilah dia pokok-pokok pengajaran; dari
sejak rasa syukur, tauhid, bakti kepada orangtua, taubat, hingga
pemahaman akan hakikat ‘amal di hadapan Allah. Ianya harus menjadi
perhatian setiap orangtua bahkan sebelum memerintahkan ‘amal terpenting
di hidup anak-anak mereka yang akan dihisab pertama kalinya, yakni
shalat. Kini kita tepekur menganggukkan kepala, mengapa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
memberi arahan agar kita memerintahkan shalat kepada anak barulah
ketika dia berumur tujuh, dan barulah orangtua diizinkan memberi pukulan
yang tidak menyakitkan dan tidak menghinakan pada umur sepuluh tahun
ketika anaknya menolak shalat.
Sebab sebelum tujuh tahun, ada hal-hal jauh lebih besar yang harus lebih didahulukan untuk ditanamkan padanya.
“Duhai anakku tersayang, tegakkanlah shalat, perintahkanlah yang ma’ruf, cegahlah dari yang munkar, dan bersabarlah atas apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara-perkara yang ditekankan.” (QS Luqman [31]: 17)
“Dirikanlah shalat dengan menegakkan
batas-batasnya”, tulis Imam Ibn Katsir dalam Tafsirnya, “Menunaikan
fardhu-fardhunya, serta menjaga waktu-waktunya.” Shalat yang mencegah
perbuatan keji dan munkar pada diri selayaknya diikuti tindakan untuk
mengajak dan menjaga manusia supaya tetap berada di dalam kebaikan dan
terjauhkan dari keburukan. Shalat yang kita ajarkan pada anak-anak kita
sudah selayaknya membentuk jiwa dakwah yang tangguh pada dirinya, hingga
dia mampu bersabar atas segala yang menimpanya di dalam beriman,
berislam, berihsan, berilmu, dan berdakwah.
“Dan janganlah engkau memalingkan muka dari manusia serta jangan berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah engkau dalam berjalan, serta tahanlah sebagian suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai.” (QS Luqman [31]: 18-19)
Kata “Ash Sha’r”, menurut Imam
Ath Thabari asalnya bermakna penyakit yang menimpa tengkuk seekor unta
sehingga kepala dan punuknya melekat dengan wajah yang terangkat ke atas
lagi bergerak ke kiri dan ke kanan di kala berjalan. Luqman melarang
putranya dari mengangkat wajah dan memalingkan muka semacam itu dengan
rasa sombong yang berjangkit di hati.
Inilah buah dari iman, ilmu, ‘amal, dan
dakwah dari seorang putra yang dididik oleh ayahnya. Ialah akhlaq yang
indah kepada sesama, berpangkal dari lenyapnya rasa angkuh dalam dada
sebab mengenal dirinya dan merundukkan diri karena tahu bahwa dia hanya
salah satu makhluq Allah yang memiliki banyak kelemahan serta kesalahan.
Inilah akhlaq itu, yakni saripati yang manis, harum, dan lembut dari
buah pohon yang akarnya kokoh menghunjam, batangnya tegak menjulang, dan
cecabangnya rimbun menggapai langit.
Dan akhirnya, akhlaq itu disuguhkan
dalam tampilan yang paling menawan berupa terjaganya Adab dengan cara
berjalan yang sopan dan patut serta cara bicara yang lembut dan santun.
Inilah pengajaran sempurna dari Luqman kepada putranya, digenapi dengan
panduan mengejawantahkan akhlaq menjadi adab. Akhlaq adalah nilai kokoh
yang menetap dalam jiwa. Adab mengenal zaman dan tempat yang bertepatan
baginya.
Inilah bersusun-susun rasa surga di
serumah keluarga, teladan dari Luqman dalam mewariskan nilai-nilai
kebajikan pada anaknya, di lapis-lapis keberkahan yang penuh cinta.
sepenuh cinta,
salim a. fillah
0 comments:
Post a Comment