Ini yang buruk, (menurut hemat saya yang lemah) beberapa kawan jika
mendapati orang lain beramal sesuai madzhab, tapi –menurut pemahamannya-
itu menyelisih hadits Nabi, ia langsung mengumpat:
“Ente mau ikut hadits Nabi apa ikut ulama madzhab? Siapa yang pantas diikuti?”
Umpatan seperti ini jelas merendahkan derajat seorang ulama yang
punya kapasitas tinggi sebagai orang yang mengerti syariah. Ini seperti
menuduh ikan tidak bisa berenang. Apa mereka kira ulama madzhab itu
tidak mengerti hadits?
Bagaimana bisa seorang Imam madzhab tidak mengerti hadits? Toh, untuk
jadi seperti itu (imam madzhab) tidak mungkin kecuali mereka hapal
lebih dari ratusan ribu hadits dengan maqshud-nya pula. Karena seorang mujtahid, pastilah ia seorang muhaddits (ahli hadits)
Sahabat Menyelisih Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam?
Ini yang lebih parah! Dalam beberapa masalah, beberapa kawan justru
mengumpat sahabat ketika terjadi perbedaan pendapat. Ada yang mengikuti
ijtihad Umar dalam suatu masalah (Tarawih 20 rakaat misalnya) yang itu
tidak ada riwayat dari Nabi lalu ia katakan dengan pongah:
“Nabi tidak pernah melakukan itu! Mau ikut Umar apa ikut Nabi?”
Dalam masalah adzan Jumat yang dua kali yang merupakan Ijtihad
sahabat Utsman bin Affan. Karena tidak puas dengan pendapat ini, ia pun
mengumpat lagi:
“Nabi tidak pernah melakukan itu! Mau ikut Ustman apa ikut Nabi?”
Seakan-akan bahwa apa yang dilakukan sayyidina Umar dan sayyidina
Ustman itu menyelisih sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan
bukan seakan-akan, pernyataan yang kental dengan denagn umpatan itu
jelas memberika arti bahwa sahabat tidak mengikuti Nabi, berbeda dengan
Nabi.
Padahal mereka lah orang terdekat dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam, hidup bersama, selalu menemani, menyaksikan wahyu turun,
mendengarkan hadits langsung, hidup berdampingan dengan Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Tentu mereka paling mengerti maqhashid syariah yang
turun dari langit melalui lisan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Lalu
ada ada yang mengatakan: “Mau ikut Nabi apa ikut Umar/Utsman?”
ini -menurut hemat saya yang lemah- bentuk men-deskredit-kan
kapasitas seorang sahabat Nabi dalam pamahamannya sebagai sahabat dan
orang yang menyaksikan turunnya wahyu serta paham syariah. saya
khawatir, ini termasuk bentuk penghinaan kepada sahabt yang jelas dosa
besar. saya sangat khawatir ini!
kan ngga enak, tiap hari membenci penghina sahabat, tapi justru malah termasuk orang yang menghina sahabat. nausdzu billah.
Sahabat Banyak Ber-Ijtihad
Kita ingat bagaimana pencapaian sayyidna Abu Bakr yang memerangi kaum
pembangkat zakat yang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak
melakukan itu ketika masih hidup. Begitu juga wacana beliau tentang
pembukuan al-Quran (tadwiin ul Qur’an), Apa kemudian ada sahabat lain
menolak ikut berperang lalu mengumpat seperti anak-anak sekarang?
“Mau ikut khalifah Abu Bakr yang tidak makshum atau ikut Nabi?”
Sayangnya kita tidak menemukan ada riwayat seperti ini dalam
kitab-kitab ulama syariah dan ulama sejarah. Termasuk juga inisiatif
khalifah yang lain. Lalu dari mana mereka punya umpatan itu?
Kita tahu bahwa ketika Nabi masih hidup, Nabi menghukumi talak tiga
sekaligus dalam satu majlis atau satu kali perkataan itu tidak dihukumi
sebagai talak tiga, tapi tetap talak satu. Jadi talak itu harus terpisah
agar terhitung lebih dari satu.
Tapi ketika sayyidina Umar menjabat khalifah, di tahun ke-3 Hijrah
beliau memfatwakan hal yang berbeda dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam, bahwa talak tiga sekaligus itu terjadi walaupun diucapkan
sekali.
Beliau fatwakan seperti itu karena melihat banyak dari para suami
ketika itu yang gegabah dan seenaknya dalam mentalak istrinya dengan
talak tiga, namun tetap mau kembali setelahnya. Akhirnya beliau hukum
sebagai talak tiga sebagai jera bagi para lelaki agar hati-hati.
Dan semua sahabat ketika itu tidak ada yang mengingkari, yang
akhirnya fatwa beliau menjadi ijma’ Sukuti. Dan tidak ada juga sahabat
yang mengumpat:
“Mau ikut Umar yang tidak makshum, atau ikut Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam?”
Sama sekali, tidak ada riwayat umpatan seperti ini.
Wallahu a’lam.
Ustadz Zarkasih Ahmad, Lc.
0 comments:
Post a Comment