Unnimac.com - Prokrastinasi akademik, atau lebih mudahnya disebut penundaaan waktu
dalam pengerjaan tugas adalah suatu hal yang biasa dilakukan oleh
mahasiswa. Lamanya waktu pengumpulan menjadi alasan mengapa mahasiswa
melakukan penundaan terhadap berbagai tugas yang diberikan padanya.
Penundaan yang dilakukan kebanyakan mahasiswa bukan berawal dari suatu
hal yang penting, seperti karena sibuk menonton televisi, jalan-jalan ke
mall, bermain game, atau karena sibuk menghabiskan waktu berduaan
dengan berkhalwat.
Pada akhirnya ketika waktu pengerjaan tugas semakin sempit, banyak
mahasiswa yang berpikir mengenai jalan pintas yang akan menyelamatkan
hidupnya. Seperti dengan melakukan penjiplakan terhadap karya orang
lain, dan mengakuinya sebagai hasil karyanya sendiri.
Berbagai bentuk kecurangan yang dilakukan mahasiswa pada saat akhir
waktu pengerjaan sesungguhnya merugikan dirinya sendiri. Misalnya ketika
akhirnya mahasiswa melakukan rasionalisasi kecurangan dengan melakukan
tindakan plagiat. Tindakan plagiat tersebut yang dilakukan secara
sengaja dan terus menerus akan melahirkan “budaya mencuri” yang akan
mempengaruhi kepribadiannya. Secara tidak langsung hal itu pula yang
akan menghantarkan mereka pada tindakan pidana yang lebih berat.
Selain itu, ketika dihadapkan pada pilihan dalam penyelesaian tugas,
mahasiswa akan selalu mengalami kesulitan. Mereka bahkan dapat menempuh
waktu yang lama ketika dihadapkan pada posisi untuk menerapkan kaidah
ilmiah. Hal yang lebih buruk adalah ketika standar ilmiah tak juga
mereka pahami dalam pembuatan tugas akhir, gelar kesarjanaan yang selama
ini didambakan dapat dicabut hanya karena kesalahan dalam mengutip
sebuah ide.
Selain menimbulkan dampak akademis, prokrastinasi akademik nyatanya
mempengaruhi relasi antara ciptaan dengan Penciptanya. Mahasiswa yang
telah menyia-nyiakan waktu mudanya sedang mengalami ‘kerugian’,
sebagaimana dalil “Demi Masa, Sesungguhnya manusia kerugian”.
Orang-orang yang merugi dalam ayat ini bukan yang terkait dengan
kerugian atas bawang dagangannya, namun kerugiannya atas peyia-nyiaan
waktu di dunia. Karena segala hal didunia, termasuk konsep waktu yang
ada didalamnya berserta eksistensi manusia yang fana adalah milik
Penciptanya.
Ibn Katsir dalam tafsirnya menyatakan bahwa “Al-‘Ashr berarti masa
yang di dalamnya berbagai aktifitas anak cucu Adam berlangsung, baik
dalam wujud kebaikan maupun keburukan. Imam Malik meriwayatkan dari Zaid
bin Aslam: “Kata al-‘Ashr berarti shalat ‘Ashar.” Dan yang populer
adalah pendapat pertama.
Dengan demikian, Allah Ta’ala telah bersumpah dengan masa tersebut
bahwa manusia itu dalam kerugian, yakni benar-benar merugi dan binasa.
Illal ladziina aamanuu wa’amilush shaalihaat (“Kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal shalih”). Dengan demikian Allah memberikan
pengecualian dari kerugian itu bagi orang-orang yang beriman dengan hati
mereka dan mengerjakan amal shalih melalui anggota tubuhnya. Wa tawaa
shaubil haqqi (“Dan nasehat-menasehati supaya mentaati kebenaran”) yaitu
mewujudkan semua bentuk ketaatan dan meninggalkan semua yang
diharamkan. Wa tawaa shaubish shabr (“Dan nasihat-menasihati supaya
menetapi kesabaran.”) yakni bersabar atas segala macam cobaan, takdir,
serta gangguan yang dilancarkan kepada orang-orang yang menegakkan amar
ma’ruf nahi munkar.” (Tafsir Ibn Katsir Juz 30, h. 535)
Masih dalam tafsir yang sama, Ibn Katsir mengutip pendapat Imam
Syafi’i, “Seandainya manusia mencermati surat ini (al-‘Ashr) secara
seksama, niscaya surat ini akan mencukupi mereka.” Dalam berbagai versi
disebutkan bahwa surat Al-‘Ashr merupakan surat yang populer dikalangan
para Sahabat.
Oleh karena itu makna atas surat ini begitu dalam, karena terkait dengan konsep waktu yang mengikat pada diri manusia.
Dalam ilmu fisika, konsep ruang dan waktu hanya terkait suatu hal yang empiris. Sedangkan Elisabeth Stroker dalam Investigations in Philosopy of Space menyatakan bahwa waktu tak dapat dipisahkan dari ruang yang melingkupinya. Konsep ruang terkait dengan kehidupan di dunia dalam kurun waktu tertentu, maka hal itu meniscayakan ruang lainnya, yaitu (alam mimpi, akhirat yang terkait dengan konsep metafisika).
Dalam diri seorang Muslim, konsep waktu merupakan hal yang harus
direnungkannya secara mendalam. Setiap waktu yang dipergunakan manusia
per-detiknya akan dipertanggungjawabkan pada Yaumul-Hisab. Jika nyatanya
manusia tidak memanfaatkan waktunya secara baik, mereka telah berada
dalam kerugian yang sebesar-besarnya. Karena hidup manusia di dunia
hanya sementara, seperti sedang berteduh di bawah pohon yang rindang.
Hanya sesaat, karena akan ada perjalanan panjang yang harus
dilanjutkannya.
Seorang mahasiswa Muslim sebagai agen perubahan wajib memahami konsep
waktu secara baik. Karena dengan pemahamannya terhadap makna
“Al-‘Ashr”, mahasiswa akan berupaya agar tidak membuang waktunya secara
percuma untuk mengerjakan sesuatu yang bukan merupakan tugas utamanya.
Ilmu yang diperoleh mahasiswa dalam tingkat Universitas akan
menghantarkannya pada kehidupannya di masa depan.
Pengelakannya dalam belajar akan merugikan masa depannya kelak.
Selain itu, prokrastinasi atau penundaan waktu dalam pengerjaan tugas
ataupun belajar menuju ujian bukanlah pilihan rasional, karena akan
menghantarkannya pada tindakan kecurangan. Moral mahasiswa menjadi
rusak, dan jika dilakukan secara terus-menerus menjadi sebuah
kepribadian yang akan melekat padanya hingga dewasa.
Jika dalam diri seorang mahasiswa Muslim kepribadian ini terus
melekat, tak ayal jika diperkirakan pada 20-tahun kedepan budaya korupsi
di Indonesia juga takkan musnah. Karena kehidupan mahasiswa adalah
miniatur tata kelola birokrasi Indonesia di masa yang akan datang.
Ketika seorang mahasiswa Muslim telah melupakan ‘adab’ dalam
kehidupannya, akan semakin sulit mencari pemimpin yang secara nyata
memiliki akhlak karimah di masa yang akan datang.
Pemahaman atas pemanfaatan waktu dalam pengerjaan tugas tak harus
membuat mahasiswa tak mengenal masa untuk beristirahat. Mahasiswa juga
dapat menghidur dirinya dengan berbagai macam hiburan setelah tugas
utamanya diselesaikan.
Namun sebagai seorang Muslim, mahasiswa juga harus cerdas dalam
memilih sebuah hiburan. Jangan sampai hiburan yang dipilihnya juga
melenakan atas waktunya di dunia yang hanya sementara. Jika dalam diri
mahasiswa Muslim telah menerapkan kaidah seperti ini, insya Allah
kedepannya Indonesia akan semakin baik karena dipimpin oleh generasi
dengan akhlak seperti Rasulullah SAW.
Allahu ‘alam.[]
Mahasiswa Tingkat Akhir UIN Jakarta
0 comments:
Post a Comment