• Kabar Terkini

    Apr 7, 2013

    Konsistensi Kebaikan

    “Umi, kakiku semutan…,” keluh Revo pagi ini saat bangun tidur.
    “Mana yang semutan…?” kataku sambil memeluk dan memangkunya. Kupijit kaki kiri yang ditunjuknya.
    “Eyang mana?” tanya Revo.
    “Eyang sedang beli bubur. Tumben bangun tidur kok cari Eyang, ada apa?”
    “…Kan Eyang yang bisa mijit….”
    Ooo, begitu rupanya.
    “Umi juga bisa mijit kok. Nih, syafakallah… Masih semutan apa tidak?” terus kupijit kakinya.

    “Semutan itu sebabnya apa to, Mi? Nyembuhinnya gimana?”

    “Semutan itu mungkin karena tadi Revo posisi tidurnya kaki tertekuk. Atau Revo kurang makan dan minum….” jelasku, “Nanti kalau dipijit, trus Revo makan minum, sembuh deh… insya Allah…”

    Bla…bla… dan Revo masih bertanya ini itu tentang semutan, menjadi kuliah pagiku.

    Bukan bab kesemutan yang ingin kubahas, tapi bahwa Revo mencari Eyang untuk memijit kakinya. Eyang suka memijit. Kalau ada yang kecapekan selalu ditawari pijit, kalau membangunkan anak-anak dengan memijit. Bahkan kalau aku berjalan kurang lurus akan bertanya, “Tak pijeti piye,,,?”

    Namun aku menolak karena kasihan, masak dari bayi sampai setua ini masih dipijit ibu terus. Jadi gantian aku yang menawari pijit saat ibu capek. Namun pijitanku mungkin tidak enak, sehingga tidak ada yang kangen dengan pijitanku. Sebaliknya, mungkin bagi Revo pijitan eyangnya adalah pijitan cinta yang nikmat. Revo akan mencari aku jika minta minum susu. Atau minta dibacakan cerita menjelang tidur. Atau jika ingin belajar. Setiap pulang sekolah atau malam hari, ia akan menenteng tas dan membuntuti aku.

    “Umi, ayo belajar…” begitulah, aku bagi Revo identik dengan minum susu, membaca cerita, belajar dan tidur.

    Kebaikan yang kita lakukan berulang, akan membekas dan membuat ikatan jiwa. akan mudah sekali menjadi label bagi kita. Kemarin saya cerita tentang paman yang meninggal setelah pingsan selama 30 jam, saat sujud rakaat pertama shalat qabla dhuhur. Paman adalah orang yang konsisten melaksanakan shalat lima waktu di masjid. Dan Allah berkenan memanggilnya saat shalat di masjid. Konsistensinya berbuah manis.

    Sementara bulikku, adalah orang yang suka memberikan hadiah atau oleh-oleh. Setiap kali berkunjung ke rumahku, mengunjungi ibuku, Bulik pasti membawa aneka masakan. Ayam goreng, tempe tahu bacem, brongkos, dan kadang mie goreng. Kadang juga dengan peyek atau kerupuk. Tak lupa sambel.

    Maka jika di meja makanku ada brongkos, pasti suamiku akan bertanya, “Bulik ke sini ya…?”

    Kadang pertanyaannya demikian, “Kapan Bulik ke sini?”

    Brongkos adalah jejak kehadiran Bulik.

    Sementara mertuaku, senang sekali jika dikirimi pulsa. Beberapa kali aku mencoba merutinkan kirim pulsa, suatu ketika beliau menelepon aku dan bertanya,
    “Umi kirim pulsa ya…? Kok ini ada pulsa masuk…?”

    “Belum Yang, Eyang mau dikirimi pulsa?”

    “Ora, ini pulsane eyang ijih akeh, ojo kirim ndisik…”

    Waah…, orang lain yang kirim, tetap dikira aku.

    Di kampung, kami biasa menyuruh orang bersih-bersih. Menyuruh dengan diam-diam. Misalnya saat melihat masjid atau mushala nampak kotor dan banyak rumput, suamiku menyuruh orang upahan untuk membersihkan dan mengepel masjid. Mencabuti rumput dan sebagainya. Demikian pula kebun tetangga para janda tua yang tak kuat bekerja keras, kadang kami suruh orang untuk membantu membersihkan halaman dan membetulkan pagarnya. Juga gang masuk ke rumah kami.

    Hingga suatu ketika saya terkejut saat ada tetangga yang komentar, “Waah, sekarang, pak Cahyadi bersih-bersihnya sampai buk dhuwur… Terima kasih ya bu, kampungnya jadi semilak…”

    Aku kaget dikira aku yang mengupah sekian banyak orang untuk membersihkan semak pinggir jalan utama yang membelah kampung kami. Setelah aku cari tahu, ternyata itu orang upahan pak Lurah yang akan mendapat tamu agung. Bupati akan berkunjung ke kantor kelurahan, jadi pak Lurah menyuruh banyak tukang untuk membersihkan dan merapikan jalan menuju Kelurahan.

    Waah…, masak aku harus klarifikasi ke banyak orang.

    Rasulullah memang pernah memesankan amal yang kontinyu.  Ternyata dahsyat ya jika bisa memelihara amal kebaikan yang kontinyu. Kita akan diingat dengan kebaikan yang rutin kita lakukan. Bukan hanya di mata manusia, tapi juga di sisi Allah. Saat kita udzur-pun, kita akan mendapat pahala amal yang selalu kita lakukan.

    Sekalipun terasa berat menjaga konsistensi, tapi ayo terus lakukan. Semangat. Semangat.

    Mertosanan Kulon, 6 April 2013

    Ida Nur Laila 
    Sumber : http://www.fimadani.com/konsistensi-kebaikan/
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 comments:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Konsistensi Kebaikan Rating: 5 Reviewed By: Unknown
    Scroll to Top