Unnimac.com, Sungguh berat nian untuk ber-Islam dengan baik di jaman moderen ini.
Jaman disaat perubahan terjadi begitu drastis. Jaman dimana banyak hal
dalam Islam yang katanya sudah tidak lagi sesuai. Islam kemudian
terpinggirkan, dianggap ketinggalan jaman dan tidak lagi sesuai dengan
nafas pembaharuan. Padahal dahulu Islam datang menyerukan pembaharuan.
Hampir di semua lini kehidupan Rasulullah memberikan panduannya. Islam
dahulu menjadi panduan yang komplit bagi setiap manusia untuk menjadi
lebih baik, lebih baik dari kondisi orang-orang di jamannya.
Islam itu (seharusnya) progresif dan revolusioner. Tapi mengapa saat
ini, wajah Islam seolah-olah kasar, kaku, miskin, tidak berpendidikan
dan tertinggal? Adakah yang salah dengan Islam ini? Banyak orang
kemudian berdalih untuk tidak membandingkan Islam dengan penganutnya.
Kemudian pertanyaannya adalah, darimana kita melihat keagungan dan
keunggulan Islam? Logika sangat sederhana untuk melihat kehebatan koki
dari masakannya, kehebatan sebuah sekolah dari lulusannya. Saya yakin
ada yang salah dalam hal ini. Islamkah yang salah?
Saya sedikit penasaran, bagaimana generasi emas, para pengukir
sejarah Islam hidup dan berkembang dahulu. Saya sempatkan untuk
mencari-cari dan membaca-baca literatur, hingga akhirnya saya membaca
kembali tulisan lama dari penulis favorit saya, Yusuf Qardhawi, dengan
tulisannya Fiqih Prioritas. Saya pikir tulisan ini cukup mewakili sudut
pandang orang-orang yang hidup sebagai generasi emas Islam. Setidaknya
begitu bagi saya, sudut pandang yang diberikan Yusuf Qardhawi dalam buku
tersebut sangat progresif dan revolusioner. Dan seperti itulah Islam
seharusnya, gerbong perubahan. Tidak berniat untuk menjadi hiperbolis
mengatakan bahwa dengan ber-Islam-lah Anda bisa berubah, tapi ada
beberapa semangat dalam ber-Islam yang seharusnya bisa mengubah kita.
Dengan begitu, jika Islam mengalami stagnansi, itu bukanlah Islam, bukan
semangat ke-Islam-an yang dulu pernah digelorakan generasi pertama.
Di sini saya kemudian juga harus jujur, bahwa hampir semua ajaran
yang ada di muka bumi ini datang dengan semangat yang sama, semangat
perubahan, tidak hanya Islam. Tulisan ini dibuat bukan untuk
membandingkan atau melebihkan, tidak ada kapasitas saya untuk melakukan
itu. Inti yang ingin saya sampaikan adalah, mempertanyakan kembali
kalimat Islam sebagai rahmatan lil’alamin, karena semangat dan nafasnya
Islam itu yah letaknya disana, bahwa Islam itu mempunyai semangat
perbaikan, dimana semangat perbaikan itu berbeda dengan nilai
konservatif dan status-quo yang cenderung stagnan.
Saya akan coba ulas beberapa hal yang saat ini sering menjadi pokok
masalah didalam umat Islam sendiri, yang menurut saya menjadi sumber
kemerosotan kebermanfaatan muslim di lingkungan sekitar. Kadang
permasalahan ini malah menggerogoti keindahan Islam itu sendiri.
1. Fatwa-fatwa yang sudah tidak sesuai dengan jaman sudah seharusnya direvisi
Perubahan kondisi dunia hingga seperti saat ini memerlukan perubahan
cara pandang di diri seorang muslim. Para ahli fiqih harus mengubah
fatwa-fatwa lama yang sekiranya sudah tidak cocok lagi dengan
perkembangan jaman, dengan berpegang pada faktor keluwesan dan
keleluasan dalam syariat Islam yang sejalan dengan As Sunnah dan Al
Quran. Kondisi saat ini tentu berbeda dengan jaman dahulu sehingga
pendekatan-pendekatan dalam pembuatan fatwa pun tentu berbeda, sehingga
peninjauan terhadap fatwa-fatwa lama pun harus dilakukan.
Contoh yang diberikan Yusuf Qardhawi adalah bagaimana seharusnya
muslim saat ini melihat dunia muslim dan dunia selain muslim. Jaman
dahulu ada fatwa di dunia muslim yang membagi dunia ke dalam Dar Islam
dan Dar Harb, sebuah pandangan mengenai hubungan dunia muslim dengan
bukan muslim adalah peperangan. Selain tidak sesuai dengan kondisi saat
ini, fatwa ini juga dinilai lemah karena banyak penjelasan-penjelasan di
As Sunnah dan Al Quran yang menyatakan kebalikannya, seperti
“… dan Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal…“(al-Hujurat: 13) dan ”..Dan Allah menghindarkan orang-orang Mukmin dari peperangan...” (al-Ahzab: 25)
“… dan Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal…“(al-Hujurat: 13) dan ”..Dan Allah menghindarkan orang-orang Mukmin dari peperangan...” (al-Ahzab: 25)
Walaupun saya yakin banyak muslim saat ini yang memiliki pandangan
bahwa peperangan bukan jalan dakwah yang bisa ditempuh saat ini. Namun
pandangan anarkis dalam menyebarkan keindahan Islam ini masih saja
menodai langkah perjalanannya saat ini, seperti aksi kekerasan terhadap
golongan lainnya dengan mengatasnamakan dakwah.
Fatwa-fatwa lama, bisa jadi telah mendarah daging sehingga tanpa kita
sadari telah menjadi keseharian muslim-muslim di dunia tanpa mengetahui
jika itu tidak lagi sesuai jamannya. Muslim-muslim mengikuti
fatwa-fatwa tanpa mengetahui sebab musababnya dan tanpa pengetahuan,
sehingga yang ada hanya sikap fanatisme kosong. Ada teguran yang cukup
jelas tentang hal ini.
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya...” (al-Isra’: 36)
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. an-Nahl : 43)
Untuk masalah ini kadangkala masyarakat kita sangat mudah percaya
bahwa sesuatu adalah benar jika itu mengatasnamakan Islam ataupun
dakwah. Sudah jelas dalam ayat diatas bahwa ijtihad itu di atas taqlid,
artinya kebiasaan menggali informasi serta memperkaya diri dengan
informasi dan pengetahuan merupakan salah satu muslim sejati. Sehingga
wajar saja di jamannya dulu, generasi emas Islam menorehkan banyak karya
untuk ilmu pengetahuan. Rasa penasaran begitu besar memang tertanam dan
diperintahkan.
2. Memperbaiki diri sebelum memperbaiki lingkungan lebih besar
“…Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri…” (ar-Ra’d: 11)
Ada beberapa orang yang beranggapan, sistem dulu diperbaiki baru
semuanya bisa lebih baik. Saya sangat menyangsikan proposisi ini, bahkan
Rasulullah yang utusan langsung saja melakukan pembinaan bertahun-tahun
sebelum akhirnya bisa membina sebuah masyarakat yang memiliki aturan
dan sistem. Tapi itu kan dulu? Saya pikir sama saja, hidup ini kan terus
berputar dan menurut saya cara Rasul adalah sebaik-baiknya cara.
Yang perlu kita perhatikan adalah bagaimana Rasulullah ini
menjalankan perbaikan sistem di tempat-tempat baru. Beliau tidak
kemudian memaksakan sistem dan pemahamanan-pemahaman yang ada dalam
Islam untuk dipaksakan pada orang-orang bukan Islam. Ke-khalifah-an
bukanlah tujuan akhir yang ingin Rasulullah kejar, tapi menyebarkan
indahnya Islam sebagai rahmatan lil’alamin, ke-khalifah-an bisa jadi
salah satu cara yang ditempuh. Intinya adalah kita harus jeli melihat
mana yang tujuan dan mana yang cara. Jika melihat bagaimana kisah Rasul,
jelas terlihat bahwa pembinaan individu itu senantiasa dilakukan oleh
Rasulullah dengan menyebarkan kebaikan demi kebaikan ke setiap individu
sampai akhir hayatnya, dan itu cara yang dipilih oleh beliau.
Ini bukan berarti sistem atau lingkungan tidak penting, karena
individu adalah pembentuk sistem. Layaknya sebuah perusahaan yang fokus
terhadap pengembangan personal sumberdaya manusianya, maka dia akan
mendapatkan sistem yang lebih optimal.
3. Memahami perbedaan itu sebagai sebuah keluwesan dan keleluasaan yang dikarunia Allah
Hal yang tersulit dilakukan saat ini adalah menghargai perbedaan.
Perbedaan itu fitrah dan berkah. Namun sebagian besar manusia memang
tidak menyadari itu dan menjadi perbedaan itu sebagai dasar perpecahan
dan persengketaan yang berkepanjangan. Termasuk diantaranya adalah
bagaimana umat muslim mengintrepretasikan isi Al Quran, banyak sekali
pendekatan-pendekatan berbeda sehingga memunculkan istilah aliran-aliran
tertentu. Patut disadari bahwa dalam Al Quran memang ada ayat-ayat yang
sifatnya muhkamat (terang-benderang) dan mutasyabihat (yang mengandung
beberapa pengertian). Jika seandainya Allah menginginkan manusia dalam
satu pemahaman maka isi Al Quran tentunya mengandung ayat-ayat muhkamat.
Yang paling penting itu adalah kemudian untuk tidak merubah-rubah
ayat muhkamat menjadi mutasyabihat ataupun sebaliknya. Banyak sekali
perdebatan yang muncul akibat kondisi yang dijelaskan sebelumnya. Yusuf
Qardhawi dengan jelas menuliskan bahwa masalah-masalah yang dinggap
besar selalu dituliskan sebagai ayat muhkamat, dan kita dilarang untuk
berselisih di dalam hal ini, misalnya seperti masalah aqidah. Sedangkan
untuk masalah kecil yang tersirat dalam ayat mutasyabihat memang
terkadang memunculkan perbedaan hukum oleh fuqaha-fuqaha, dan ini
diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan ayat-ayat muhkamat. Dalam
hal ini kemudian umat Islam tidak boleh dengan mudahnya tercerai berai,
inilah yang dijelaskan diawal sebagai berkah perbedaan.
Allah memberikan ruang keleluasaan dan keluwesan bagi manusia untuk
berinovasi dalam koridor tertentu, bahkan disini Allah menunjukkan
bahwasanya Islam bisa terus bersifat progresif dan revolusioner
disesuaikan dengan jamannya. Satu hal yang paling penting, ukhuwah
Islamiyah adalah hal yang tetap patut dijaga terlepas dari
perbedaan-perbedaan yang ada.
4. Fokus kepada isu-isu sentral yang ada dalam Al Quran
Sebelum memikirkan apa yang harus diperbaiki dari umat Islam ini, ada
baiknya kita kembali ke Al Quran. Penekanan yang diperlihatkan di dalam
Al Quran dengan mengulang-ulang kata-kata dan istilah-istilah tertentu,
adalah tanda bahwa hal-hal tersebut sudah seharusnya menjadi prioritas.
Seperti pokok-pokok ibadah dan syiar-syiarnya, mendirikan shalat dan
membayar zakat, puasa, haji, zikir kepada Allah, bertasbih, tahmid,
istighfar, tobat, tawakkal kepada-Nya, mengharapkan rahmat dan takut
terhadap azab-Nya, syukur kepada nikmat-nikmat-Nya, bersabar terhadap
cobaan-Nya, dan ibadah-ibadah batiniah, serta maqam-maqam ketuhanan yang
tinggi. Dan juga pokok-pokok keutamaan, akhlak yang mulia, sifat-sifat
yang baik, kejujuran, kebenaran, kesederhanaan, ketulusan, kelembutan,
rasa malu, rendah hati, pemurah, rendah hati terhadap orang-orang yang
beriman dan berbesar hati menghadapi orang kafir, mengasihi orang yang
lemah, berbuat baik terhadap kedua orangtua, silaturahim, menghormati
tetangga, memelihara orang miskin, anak yatim dan orang yang sedang
dalam perjalanan.
Sebenernya dengan melihat penekanan-penekanan dalam Al Quran ini kita
bisa menilai mana yang kemudian lebih penting ketimbang lainnya.
Sehingga dalam bersikap kita bisa lebih proporsional terhadap
perintah-perintah Allah, tidak kemudian memakai kacamata kuda untuk
bersikeras memaksakan ayat-ayat yang dia sukai saja. Tiap ayat di Al
Quran saling terkait satu sama lain, sehingga jika menerapkannya dalam
keseharian berdasarkan prioritas tentu kita bisa melihat gambaran
kebesaran Rasulullah didalamnya. Beliau bisa begitu lembut pada siapa
pun, bahkan musuh Allah sekalipun. Beliau tidak membenci kecuali atas
seizin Allah.
Saya rasa propaganda kebencian umat Islam terhadap umat lain memang
sudah saatnya dihentikan, karena sudah tidak sesuai semangat yang
ditunjukkan oleh Al Quran dan As Sunnah. Ada hal yang menarik
sebenarnya, di Al Quran disebutkan, misalnya contoh bentuk kebencian
terhadap kaum Yahudi. Tetapi disisi lain kita juga dihadapkan contoh
dimana Rasul kita bisa begitu sabar dan lembutnya menghadapi orang-orang
Yahudi. Dan bagaimana toleran dan luwesnya Rasul kita dalam membuat
perjanjian-perjanjian dengan pihak-pihak di luar Islam.
Menurut pendapat saya kebencian yang kita miliki pun harus
proporsional, bukan tanpa alasan dan bukan fanatisme kosong belaka.
Sudah jelas bahwa kebencian Rasulullah bukannlah kebencian terhadap
personal, bukan kebencian yang pada dasarnya adalah kepada manusia.
Rasulullah memperlakukan binatang pun penuh dengan perasaan apalagi
manusia, sejahat apapun mereka. Kebencian kita memang sudah sepatutnya
ditujukan kepada sifat-sifat jeleknya yang melekat pada
personal-personal itu, dan tugas kita untuk menjauhkan diri dari
sifat-sifat itu, menjauhkan keluarga dari sifat-sifat itu dan menjauhkan
sifat-sifat itu dari personal-personal umat manusia. Itulah dakwah yang
diajarkan Rasulullah, sehingga tidak ada alasan bagi Rasulullah untuk
membenci personal, bagi Rasullah setiap pribadi adalah manusia yang
wajib beliau ajak ke jalan ke-Islam-an. Itupun berlaku bagi kita,
umatnya.
Kemudian bagaimana peperangan yang dahulu umat Islam lakukan. Seperti
yang saya jelaskan, dalam Al Quran ayat peperangan ini bahkan tidak
masuk prioritas. Peperangan ini ada karena memang pada zamannya itu
tidak bisa dihindarkan. Dan kalaupun ada peperangan bukan kebenciannya
yang ditebarkan, sekali lagi peperangan itu hanyalah metode yang diambil
pada zaman itu dan tidak bisa dihindarkan.
Melihat kondisi dunia seperti saat ini, isu-isu kemanusiaan mungkin
bisa dijadikan sebagai sarana menyebarkan kebaikan Islam. Umat muslim
sudah seharusnya ada di garda terdepan memerangi kemiskinan sebagaimana
banyak ayat-ayat yang membahas tentang zakat, shadaqah dan fakir miskin,
memberantas kebodohan sebagaimana banyaknya ayat yang membicarakan
tentang ilmu dan menghentikan kemerosotan akhlak individu sebagaimana
banyaknya ayat yang membahas bagaimana seharusnya pribadi muslim sejati
itu.
Ijtihad-ijtihad dalam hal-hal ini diperlukan, ketika kita berbicara
masalah kemiskinan, umat muslim harus terdepan memoderenisasikan
pokok-pokok keIslaman dalam tatanan kehidupan berekonomi, saat berbicara
kebodohan, umat muslim harus memiliki seribu satu gerakan untuk
menyebarkan ilmu ke seluruh pelosok daerah, dan ketika berbicara masalah
akhlak, muslim juga harus memiliki standar etika yang jelas, standar
pribadi muslim. Bukan muslim yang bermuka dua, yaitu mereka menebar
kebencian terhadap personal tetapi muslim yang menebar kebaikan dan
memusuhi kejelekan, kepada siapapun orangnya. Dengan semangat ini
semangat Islam sebagai rahmatan lil’alamin tentu bisa kita perlihatkan
dan buktikan bukan hanya pada umat Islam saja, juga umat-umat lainnya.
Kata kunci yang harus dipegang muslim saat ini adalah kebermanfaatan
untuk umat manusia, bukan hanya umat muslim saja.
Tulisan ini dibuat tidak kemudian untuk menjadikan Islam terlihat
lebih hebat dan superior dari ajaran apapun. Tetapi ini adalah hak dan
kewajiban dari umat Islam untuk menjadikan diri mereka lebih baik bagi
lingkungan sekitarnya berdasarkan Al Quran dan As Sunnah. InshaAllah
dengan menjadi lebih baik, cahaya Islam itu sendiri tidak kemudian
tertutup oleh debu-debu keterbatasan manusia. Memberikan manfaat kepada
sesama, bukankah itu sebaik-baiknya manusia. Pun rekan-rekan yang
beragama lain pun dipersilakan mencari mutiara didalam ajarannya
masing-masing dan mari menjadi lebih baik bagi lingkungan dan dunia.
Mari kita hiasi dunia dengan indahnya kebersamaan dan kebermanfaatan
dalam rasa cinta dan kasih sayang.
Wallahualam Bishowab
Iwa Kartiwa, Seoul
Sumber : http://www.fimadani.com/tantangan-ber-islam-di-jaman-modern/
0 comments:
Post a Comment