Terciptanya ukhuwah Islamiyah tentu menjadi dambaan setiap insan
beriman. Kebersamaan yang pernah dilalui para shahabat tentu sangat diharapkan
umat hari ini. Terlebih, retaknya hubungan antar umat Islam kian menyeruak ke
permukaan. Perbedaan madzhab dan sudut pandang berfikir terkadang lebih
dikedepan ketimbang jalinan ukhuwah Islamiyah. Opini yang berkembang lebih
banyak berpihak pada fanatisme golongan. Sikap seperti inilah yang justru
merangsang tumbuhnya parasit di tubuh umat Islam itu sendiri.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah, dalam
al-Ushûlus-Sittah, pada pokok yang kedua, mengatakan: "Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan agar (umat Islam) bersatu
di dalam agama dan melarang berpecah belah di dalamnya. Allah ‘Azza wa Jalla
telah menjelaskan hal ini dengan penjelasan yang sangat terang dan mudah
dipahami oleh orang-orang awam. Allah ‘Azza wa Jalla melarang kita menjadi
seperti orang-orang sebelum kita yang berpecah belah dan berselisih dalam
urusan agama hingga mereka hancur karenanya."Allâh Azza wa Jalla telah memberitakan bahwa umat-umat zaman dahulu
telah berpecah-belah, sebagaimana firman-Nya: “Dan mereka (ahli kitab) tidak berpecah belah,
kecuali setelah datang pada mereka ilmu pengetahuan, karena kedengkian di
antara mereka. Kalau tidaklah karena sesuatu ketetapan yang telah ada dari
Tuhanmu dahulunya (untuk menangguhkan azab) sampai kepada waktu yang
ditentukan, pastilah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang
yang diwariskan kepada mereka Al-Kitab (Taurat dan Injil) sesudah
mereka, benar-benar berada dalam keraguan yang menggoncangkan
tentang kitab itu.” (Asy-Syura: 14) . Sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitakan
bahwa sebagian umat ini pasti akan mengikuti perilaku umat-umat zaman dahulu,
termasuk perbuatan mereka yang berselisih dan berpecah belah.
Menggalang Solidaritas Ukhuwah
Solidaritas ukhuwah hanya akan bisa terwujud dengan pondasi aqidah
yang kokoh. Aspek aqidah shahihah inilah yang telah terbukti mampu menyatukan
berbagai lapisan masyarakat pada zaman nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tak
terkecuali usaha beliau dalam menyatukan kaum Muhajirin dan Anshar. Atau kisah
perseteruan suku Auz dan Khazraj di daerah Yatsrib yang telah berseteru selama
berpuluh-puluh tahun lamanya. Kisah yang diabadikan dalam QS. Al-Anfal : 63 ini
sungguh menginspirasi bagi umat Islam hari ini tentang betapa agungnya nilai
persatuan Islam.
Asy-Syaikh As-Sa’dy rahimahullah menyatakan
tentang ayat di atas: “Maka mereka pun berkumpul dan bersatu serta bertambah
kekuatan mereka dengan sebab bergabungnya mereka. Dan hal ini tidaklah terjadi
karena usaha salah seorang diantara mereka dan tidak pula oleh suatu kekuatan
selain kekuatan dari Allah Subhanallahu wa Ta’ala. Maka kalau seandainya kamu
menginfakkan seluruh harta yang ada di muka bumi dari emas dan perak serta
selain keduanya dalam rangka untuk menyatukan mereka yang bercerai-berai dan
saling berselisih, niscaya kamu tidak akan dapat mempersatukan hati-hati
mereka. Karena tidaklah ada yang mampu untuk menyatukan hati-hati (manusia)
kecuali hanya Allah Subhanallahu wa Ta’ala semata. ” (Tafsir As-Sa’dy, hal. 325).
Oleh karena itu, para rasul dan khususnya Nabi Muhammad Shallallahu
'alaihi wa sallam terlebih dahulu diperintahkan untuk menegakkan agama dan
jangan bepecah-belah dalam menerima kebenaran, sebagaimana firman Allah, yang
artinya:
“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang
telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan ‘Isa. Yaitu, tegakkanlah agama
dan janganlah kamu berpecah-belah tentangnya.” (QS. Asy-Syura: 13).
Makna ayat di atas sangat sharih (jelas) untuk dipahami setiap
orang, yakni larangan untuk berpecah belah . Walaupun perpecahan atau
perselisihan sudah menjadi suratan takdir, namun ketahuilah bahwa Allah tidak
meridhainya. Maka melandaskan persaudaraan dan solidaritas di atas ‘aqidah yang
shahih menjadi satu hajat yang harus ditunaikan oleh umat Islam dimana pun
berada. Yang dengannya kita mudah menghancurkan dan meluluhkan segala bentuk
kebatilan. Sedangkan persaudaraan yang tidak dibangun di atas aqidah shahihah,
akan menyebabkan umat Islam hanya menjadi bulan-bulanan bangsa lain. Tak
terkendali dan hanya mengekor kepada kaum kuffar.
Ukhuwah Fillah
Indahnya persaudaraan yang terikat dalam ikatan keimanan telah
digambarkan oleh para shahabat Radhiyallahu ‘anhu. Dalam sebuah riwayat
diceritakan:
Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwatha’ dari Abi Idris Al-Khaulany
rahimahullah bahwa ia berkata: “Aku pernah masuk Masjid Damaskus. Tiba-tiba aku jumpai seorang
pemuda yang murah senyum yang dikerumuni banyak orang. Jika Mereka berselisih
tentang sesuatu maka mereka mengembalikan kepada pemuda tersebut dan meminta
pendapatnya. Aku bertanya tentang dia, lalu dikatakan oleh mereka,’Ini Muadz
bin Jabal.’ Keesokan harinya , pagi-pagi sekali aku datang ke masjid itu lagi
dan kudapati dia telah berada disana tengah melakukan shalat. Kutunggu sampai
dia selesai melakukan shalat kemudian aku temui dan kuucapkan salam kepadanya.
Aku berkata,’Demi Allah aku mencintaimu. Lalu ia bertanya.’Apakah Allah tidak
lebih kau cintai?’ Aku jawab,’Ya Allah aku cintai’. Lalu ia memegang ujung
selendangku dan menariknya seraya berkata,’Bergembiralah karena sesungguhnya
aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berabda,”Allah
berfirman, cinta-Ku pasti akan mereka peroleh bagi orang yang saling memadu
cinta karena Aku, saling mengunjungi karena Aku, dan saling memberi karena
Aku.”
Subhanallah, indah nian ketika apa yang dicontohkan para shahabat
di atas dapat diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat Muslim hari ini,
terlebih di tengah badai perpecahan yang sudah menggeliat.
Berkenaan dengan ukhuwah, penulis pernah dinasehati oleh salah
seorang ikhwah (saudara seiman), beliau mengatakan, ”Musuh kita sudah jelas,
kenapa harus mencari musuh lagi?”. Maksudnya kurang lebih adalah, musuh kita
telah jelas yakni dari golongan orang-orang kafir, lantas mengapa kita harus
mencari musuh lagi di kalangan umat Islam? Yang notabene mereka adalah saudara
seiman. Maka ketahuilah, tidaklah perpecahan terjadi melainkan akan semakin
menambah jumlah permusuhan di antara umat Islam sendiri.
Harmonious Life
Terciptanya kehidupan yang harmonis dalam bingkai ukhuwah Islamiyah
tentu menjadi misi yang harus digoalkan demi kemashlahatan umat Islam itu
sendiri. Banyak orang memandang persaudaraan identik dengan kumpulnya tubuh
dalam satu organisasi atau tanzhim. Hal ini jelas keliru, sebab sebenarnya
dasar persaudaraan iman adalah kesatuan hati kaum Muslimin, bukan berkumpulnya
tubuh mereka.
Hal ini pernah disinyalir oleh Syaikh Muhammad Al-‘Utsaimin
rahimahullah yang menyatakan, “Persatuan hati adalah poros ukhuwah imaniyah
(persaudaraan iman) bukan persatuan tubuh. Berapa banyak umat yang berkumpul
tubuhnya namun hati mereka berpecah belah, sebagaimana firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala tentang orang Yahudi: "Kamu kira mereka itu bersatu, sedang hati
mereka berpecah belah".
Sungguh tiada bermanfaat bagi siapa pun yang berkumpul namun hati
mereka berpecah belah. Karena pada hakekatnya, persatuan atau berkumpulnya hati
akan lebih terasa indah walaupun saling berjauhan. Sebaliknya, orang yang
berkumpul namun tidak berlandaskan persatuan hati akan mudah terombang-ambing
layaknya buih di lautan lepas. Jika kaum Musimin memahami kebaikan ini niscaya
Allah akan menurunkan rahmat-Nya, namun jika tidak, segudang bencana
perselisihan akan terus bergulir kian tak bertepi. Wallahu a’lam bish shawab.
Referensi :
(Tafsir Taisirul Karimir Rahman Tafsir Kalamil
Manan, Syaikh Abdurrahman Nashir As-Sa’dy)
Buletin Islam
Al-Ilmu, Mahalnya Nilai Ukhuwah Islamiyah
0 comments:
Post a Comment