Add caption |
Ibarat
makanan, rokok telah menjadi salah satu menu utama yang tidak boleh
ketinggalan. Rokok telah menjadi santapan siap saji yang kapan pun siap
dikonsumsi untuk memenuhi hajat hidup orang yang bersangkutan. Akibatnya
sekarang rokok telah menjadi candu masyarakat, mereka happy dan enjoy dengan
suasana barunya ini. Akan tetapi suasana hiruk pikuk rokok
yang berdendang di kalangan masyarakat akhir-akhir ini tiba-tiba sedikit
terusik dengan hadirnya fatwa haram rokok yang dikeluarkan oleh Tarjih dan
Tajdid PP Muhammadiyah beberapa waktu lalu. Imbasnya tidak tanggung-tanggung.
Munculnya fatwa ini sempat menggoncang kalangan masyarakat, mereka resah,
bingung, dan menunggu kepastian hukum yang terkait dengan rokok.
Kontroversi
munculnya fatwa haram rokok.
Sejak
dikeluarkannya fatwa haram rokok beberapa waktu lalu, ternyata telah menuai pro
dan kontra di kalangan masyarakat. Mereka yang menolak fatwa beralasan bahwa
fatwa tersebut akan membuat jutaan petani tembakau dan ratusan ribu buruh
pabrik rokok akan terancam kehilangan mata pencahariannya. Begitu juga dengan ribuan pabrik, dari skala kecil,
sedang, hingga besar akan terancam bangkrut. Mereka menuding, bahwa
dikeluarkannya fatwa rokok haram ini oleh PP Muhammadiyah tidak terlepas dari
campur tangan pihak asing. Mereka menuding bahwa kucuran dana 3,6 Miliar
menjadi faktor pemicu utama keluarnya fatwa ini. Namun tudingan itu langsung
dibantah oleh PP Muhammadiyah yang menyatakan bahwa dikeluarkannya fatwa haram
rokok ini bukan karena adanya campur tangan pihak asing, akan tetapi merupakan
revisi dari fatwa sebelumnya (tahun 2005) yang menyatakan bahwa rokok itu
Mubah.
Sebelumnya
MUI juga mengeluarkan fatwa yang sama, yakni bahwa rokok adalah haram hukumnya.
Akan tetapi fatwa dari MUI ini sempat menuai protes karena fatwa ini hanya
diperuntukkan bagi anak kecil, wanita hamil, remaja, dan pengurus majelis
‘ulama.
Ternyata dari problem di atas,
yang terkait dengan fatwa PP Muhammadiyah bahwa alasan penting yang menjadi
pertimbangan dikeluarkannya fatwa itu adalah murni bahwa rokok sangat
membahayakan kesehatan. Hal ini juga didukung oleh aktivis peduli kesehatan,
bahkan Dep. Kes pun juga setuju bahwa rokok sangat berbahaya. Jika dilihat dari
segi syar’i memang tidak ada dalil satu pun dari Al- Qur’an dan As-sunnah yang
menyatakan bahwa rokok hukumnya haram, namun disini kita perlu memperhatikan
bahwa Islam telah mengajarkan :
لاَضَرَرَوَلاَضِرَارَ
( jangan berbuat bahaya dan menimpakan bahaya
) yang mengandung makna bahwa kita diperintahkan untuk meninggalkan sesuatu
yang membahayakan. Hal ini juga diperkuat dalam firman Allah Ta’ala yang
menyatakan bahwa pemborosan adalah saudaranya syaithan. Ditambah lagi dengan
riset yang muncul pada akhir-akhir ini yang menyatakan bahwa di dalam rokok
telah diketemukan kandungan haemoglobin babi. Maka jika mengambil penuturan
dari ketua MUI KH. Ma’ruf Amin, dia mengatakan ”kalau hal ini memang ada maka
status rokok hukumnya adalah haram mutlak”. Hal ini dikarenakan bahwa di dalam
Islam telah jelas hukumnya bahwa babi merupakan salah satu hewan yang
diharamkan karena berbahaya apabila sampai dikonsumsi. Apalagi bahaya rokok ini
telah jelas sekali dicantumkan di setiap bungkus rokok bahwa “ MEROKOK DAPAT
MENYEBABKAN KANKER, SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI, DAN GANGGUAN KEHAMILAN DAN
JANIN “.
Maka bagi
siapapun yang menyadari akan hal ini, hendaknya memperhatikan hal yang
berkenaan dengan manfaat dan madharatnya.
Solusi atas permasalahan ini
Untuk
menyelesaikan permasalahan ini, tentu peran pemerintah sangatlah besar dalam
rangka untuk menyejahterakan masyarakat Indonesia. Hal ini harusnya dibarengi
dengan komitmen pemerintah agar tidak membiarkan pabrik-pabrik rokok berdiri
serta tidak menerima cukai rokok. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya.
Misalnya, pada tahun 2008 lalu pemerintah (Departemen Keuangan) juga menikmati
cukai rokok sebesar Rp. 49 Triliyun. Nah...inilah maksud penulis bahwa pemerintah
harus komitmen, yakni meninggalkan cukai rokok yang biayanya mencapai
triliyunan rupiah demi tercapainya kesehatan masyarakat. Atau sebaliknya, tetap
menerima cukai tetapi dengan resiko yakni banyaknya korban yang jatuh
(meninggal) tiap tahunnya. Sebagaimana survei yang telah dilakukan oleh Ketua
Badan Khusus Pengendalian Tembakau dan Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat
Indonesia, Tuti Soerojo bahwa kasus kematian di Indonesia yang disebabkan
karena mengonsumsi rokok telah mencapai 200 ribu jiwa setiap tahunnya.
Maka solusi
yang perlu dilakukan, yakni pemerintah seharusnya memberikan jaminan-jaminan
pokok kepada masyarakat seperti; jaminan pangan, jaminan sandang, jaminan
tempat tinggal, jaminan pendidikan, dan jaminan keamanan. Dari mana semua itu ?
Negara memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah. Dari tambang (minyak, gas,
emas, perak, tembaga, timah, dan lain-lain), laut, hutan, dan sebagainya. Yang
semua itu nilainya ribuan triliyun, bahkan lebih yang harus dikelola secara
optimal bukan diserahkan kepada pihak asing yang berkedok sebagai insvestor.
Sebagai
contoh teladan, kita bisa ambil dari kepemimpinan para Khulafa’ Ar-Rasyidin Al-
Mahdiyin yang salah satunya adalah ‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu.
Beliau mencanangkan bahwa seorang anak yang baru lahir akan mendapat tunjangan
sebesar 100 dirham, di samping tunjangan yang diberikan kepada ayahnya. Semakin
besar anak tersebut maka semakin besar tunjangannya. Hal ini juga dilakukan
oleh Khalifah sesudahnya yakni ‘Utsman dan ‘Ali Radhiyallahu ‘anhuma. Perlu
diketahui bahwa nilai jual satu dirham pada masa itu sama dengan Rp. 80.000,-
sekarang, sebab harga kambing pada masa itu kira-kira 5 dirham, sedangkan harga
kambing pada masa sekarang minimal Rp. 400.000,- sampai Rp. 450.000,-. Tunjangan
ini diberikan kepada semua orang tanpa melihat status sosialnya.
Dalam kisah yang lain, yakni Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul
‘Aziz. Bahwa Yahya bin Sa’id berkata : “ Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz telah
mengutusku untuk mengumpulkan zakat di Afrika. Setelah menarik dan mengumpulkan
harta zakat, aku meminta data semua orang fakir untuk kami berikan bagian
mereka dari zakat ini. Namun kami tidak menemukan seorang pun yang mengambil
bagian tersebut dari kami. Sungguh ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz telah membuat kaya semua
orang. Karena itu, aku pun membeli budak kemudian aku memerdekakan mereka“.
Inilah indahnya hidup jika diatur dengan syari’ah Islam. Semua orang akan
mendapat jaminan, sehingga hidupnya akan sejahtera karenanya. Sekarang
bandingkan kedua contoh di atas dengan realita sehari-hari yang terjadi! Jelas
sekali perbedaannya. Jika saja pemerintah mau mencanangkan program sedekah
dhuafa 10.000,- setiap harinya -sebanding dengan ongkos beli rokok- kepada
semua masyarakat Indonesia yang berjumlah +/- 200 juta. Maka renungkanlah!
berapa banyak pabrik yang bisa dibangun untuk membuat lapangan pekerjaan bagi
para pengangguran? Berapa banyak beasiswa yang dapat diberikan kepada siswa
kurang mampu untuk masa depan pendidikannya? Berapa banyak para fakir miskin
yang terangkat derajatnya sebagaimana pada masa Khulafa’ Ar-Rasyidin? Dan
berapa banyak para janda-janda miskin yang akan tertolong dengan adanya program
ini? Akankah setiap hari kita melihat peristiwa busung lapar terjadi? Tentu
tidak. Lihatlah cerita Bilqis! Seorang balita yang menderita cacat pada salah
satu bagian tubuhnya, yang mengharuskannya untuk dioperasi dengan biaya tak
kurang dari 1 Miliyar. Karena ketiadaan biaya yang cukup, maka bantuan dari
berbagai kalangan pun datang menghampirinya. Hingga akhirnya bantuan itu
terkumpul koin yang berjumlah hampir 2 Milyar yang tersatukan dalam satu ikatan
penuh makna ”Koin Cinta Bilqis”. Walaupun akhirnya Allah Ta’ala menakdirkan
lain, usianya hanya sampai balita. Mungkin itulah yang terbaik baginya. Semoga
pemerintah mampu mengambil pelajaran dari kisah-kisah teladan ini, sehingga
tidak ada lagi alasan seperti banyaknya pengangguran, banyak petani tembakau
yang akan kehilangan mata pencahariannya, dan lain sebagainya.
Wallahu
a’lam bish shawab. (Syf/ berbagai sumber).
0 comments:
Post a Comment